beritax.id – Mahfud MD menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 tetap harus diterima secara formal. Meski begitu, ia mengakui bahwa konsekuensi hukum dari pemisahan pemilu nasional dan lokal ini menimbulkan kerumitan. Salah satunya adalah kekosongan jabatan kepala daerah hasil pemilihan umum selama dua hingga dua setengah tahun.
Menurut Mahfud, kondisi tersebut bukan hanya menimbulkan masalah teknis, tetapi juga menggerus demokrasi. “Itu merampas demokrasi,” ujarnya. Penunjukan penjabat kepala daerah dalam waktu lama dianggap bertentangan dengan prinsip pemilu langsung. Mahfud menyebut bahwa putusan MK menyerahkan masa transisi ini kepada Presiden dan DPR, yang menambah ketidakpastian hukum menjelang 2029.
Demokrasi Dibelokkan Lewat Jalur Konstitusi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyebut bahwa putusan MK justru menyingkirkan kedaulatan rakyat. Pemilu adalah instrumen untuk memilih, bukan memperpanjang kekuasaan pejabat yang tidak dipilih. “Kalau rakyat tak lagi diberi hak memilih, itu bukan demokrasi. Itu tipu daya konstitusional,” tegasnya.
Menurut Partai X, pemisahan jadwal pemilu yang berujung kekosongan kepala daerah selama 2,5 tahun menunjukkan absennya visi demokrasi. Negara seharusnya menjadi pelindung hak rakyat, bukan produsen kekacauan sistemik yang dibungkus konstitusi. Putusan yang membingungkan publik adalah bentuk kemunduran dalam semangat reformasi.
Partai X percaya bahwa hukum harus berpihak pada rakyat. Negara berdiri di atas legitimasi rakyat, bukan pada tafsir sempit aturan hukum. Kedaulatan rakyat tidak boleh ditunda, apalagi diambil alih oleh aktor birokratis atas nama transisi.
Partai X menolak segala bentuk penyimpangan yang mengatasnamakan stabilitas. Rakyat harus tetap menjadi pemilik suara utama dalam setiap tahapan. Proses hukum yang memutuskan hak rakyat tanpa partisipasi publik adalah bentuk otoritarianisme terselubung.
Solusi Partai X: Pilkada Harus Sesuai Amanat Demokrasi
- Mendesak revisi terhadap keputusan MK dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif bersama publik.
- Mendorong pelaksanaan pilkada tetap digelar secara tepat waktu dengan skema transisi yang tidak merampas kedaulatan.
- Menolak pengangkatan penjabat kepala daerah lebih dari enam bulan tanpa evaluasi publik.
- Menyusun peta jalan demokrasi berbasis prinsip “kedaulatan langsung, kontrol publik kuat.”
- Membentuk Dewan Independen Evaluasi Transisi Pemilu yang terdiri dari akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi pemuda.
Bagi Partai X, hukum hanya sah ketika berpihak pada keadilan dan kesetaraan. Jika hukum hanya membela kekuasaan dan menyulitkan rakyat, maka rakyat wajib bersuara. Hukum bukan alat kekuasaan, tapi alat rakyat untuk memastikan kekuasaan tak semena-mena. Jika hukum ribet dipahami rakyat, berarti bukan hukum tapi akal-akalan penguasa.