beritax.id — Sejumlah organisasi masyarakat sipil menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan oleh Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI, dan LBH APIK Jakarta, bersama tiga pemohon individu. Sidang perdana perkara 197/PUU-XXIII/2025 digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), dipimpin oleh Hakim MK Saldi Isra, didampingi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Para pemohon menilai beberapa pasal dalam UU TNI inkonstitusional karena memperkuat dominasi militer di ranah sipil dan melemahkan prinsip hak asasi manusia (HAM) serta pengawasan demokratis. Mereka menyebut pasal-pasal terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP), pelibatan militer aktif di lembaga negara, dan usia pensiun perwira tinggi berpotensi menghambat reformasi sektor keamanan yang sudah berjalan dua dekade terakhir.
Partai X: Negara Harus Tegak di Atas Kepentingan Rakyat, Bukan Senjata
Menanggapi gugatan tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa setiap undang-undang, khususnya yang menyangkut militer, harus berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan senjata. “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau aturan justru menakuti rakyat, maka negara sedang kehilangan arah,” ujar Rinto dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Ia menilai revisi UU TNI harus memperkuat akuntabilitas militer di bawah kontrol sipil. Bukan sebaliknya, membuka celah intervensi militer dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi ranah pemerintahan demokratis. “Kita tidak anti-TNI. Tapi militer harus profesional, fokus pada pertahanan, bukan kekuasaan atau birokrasi,” tegasnya.
Prinsip Partai X: Demokrasi dan Keadilan Harus Jadi Fondasi Hukum Negara
Rinto mengutip prinsip dasar Partai X bahwa negara berdiri untuk rakyat, bukan di atas rakyat. Undang-undang seharusnya mencerminkan keseimbangan antara kekuatan negara dan perlindungan hak warga negara. Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam menetapkan regulasi yang berpotensi memundurkan reformasi TNI. “Reformasi sektor keamanan lahir dari luka masa lalu. Jangan sampai negara melupakan sejarah dengan memberi ruang kekuasaan tanpa kontrol rakyat,” ujarnya.
Partai X menilai, apabila UU TNI memberi kewenangan berlebihan pada militer dalam urusan sipil, maka akan muncul risiko pelanggaran HAM, tumpang tindih kewenangan, dan hilangnya akuntabilitas publik.
Solusi Partai X: Reformasi TNI Berkelanjutan dan Pengawasan Demokratis
Partai X mengajukan sejumlah solusi konkret agar hubungan sipil-militer tetap sehat, konstitusional, dan berpihak pada rakyat:
- Revisi UU TNI dengan menegaskan batasan jelas antara tugas pertahanan dan urusan sipil.
- Membentuk Komisi Pengawasan Keamanan Nasional yang melibatkan unsur masyarakat sipil dan DPR untuk mengawasi pelibatan militer di luar perang.
- Penegakan mekanisme akuntabilitas publik terhadap setiap operasi non-perang yang melibatkan TNI.
- Peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme prajurit agar tidak ada alasan untuk masuk ke ranah sipil.
- Pendidikan HAM dan hukum humaniter wajib menjadi bagian kurikulum militer nasional.
Menurut Rinto, solusi itu sejalan dengan Prinsip Partai X tentang Negara yang Melayani dan Melindungi Rakyat. Ia menegaskan bahwa kekuasaan tanpa batas akan membawa bangsa ke jurang otoritarianisme.
Partai X menegaskan, peran TNI sangat penting bagi kedaulatan bangsa, namun kedaulatan rakyat tetap harus menjadi panglima tertinggi. “UU TNI harus mengatur dengan adil, bukan memihak kekuatan. Negara kuat bukan karena militernya ditakuti, tapi karena rakyatnya terlindungi,” pungkas Rinto Setiyawan.



