Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Tanggal 17 Januari 2023, di Mocopat Syafaat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) menyampaikan sebuah pernyataan yang pada saat itu terdengar seperti ramalan aneh mengenai ilham ketatanegaraan, bahkan bagi sebagian orang terkesan sinis dan satir:
“Bahkan juga algoritma pemilu, sekarang misalnya Pemilu 2024, kamu nggak mungkin menang. Sudah ada yang menang dari sekarang. Karena Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Antoni Salim dan 10 naga, tidak 9 sekarang 10 rek, dan oleh Haman yang namanya Luhut. Jadi negara kita sesempurna dipegang ‘cek’ tidak ada bocor-bocornya. Oleh Firaun, Qorun, dan Haman. Itu seluruh sistemnya, seluruh perangkatnya, semua alat (kejahatan) politik dan alat sejarahnya sudah dipegang mereka semua. Dari uangnya sampai sistemnya. Sampai uangnya sampai apapun sudah dipegang, jadi kamu milih siapapun sudah ada yang menang.”
Pernyataan ini kala itu dianggap berlebihan. Namun, setahun kemudian, ternyata ucapan tersebut menemukan bukti kongkritnya.
Pada 22 November 2023, muncul Perjanjian Pinjaman Nomor 9575-ID tentang Program Investasi Gizi dan Tahun Awal Fase 2, yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Direktur Jenderal Pembiayaan Anggaran dan Pengelolaan Risiko, Suminto, bersama Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD). Pinjaman ini difokuskan untuk program gizi, khususnya menyediakan makan siang dan susu gratis bagi anak-anak sekolah, serta dukungan gizi bagi ibu hamil.
Program ini secara mengejutkan sangat selaras dengan Program Prioritas Nomor 1 pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang kemudian resmi dinyatakan menang dalam Pilpres 2024 pada 14 Februari 2024.
Dalam visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045, program makan siang dan susu gratis dijadikan simbol “keberpihakan kepada rakyat kecil” serta digembar-gemborkan sebagai kebijakan pro-rakyat. Namun, di balik layar, sudah terlihat jelas bahwa program ini tidak sepenuhnya lahir dari kemandirian anggaran negara, melainkan didanai utang luar negeri.
Utang sebagai Alat Pengondisian Pemenang Pemilu Presiden
Ilham Cak Nun terbukti sangat tepat: “Seluruh sistem, seluruh perangkat, semua alat (kejahatan) politik sudah dipegang mereka.” Utang dijadikan instrumen untuk mengunci jalannya narasi pembangunan dan untuk memperlancar jalannya pemenangan calon Presiden.
Pinjaman gizi ini bukan sekadar transaksi keuangan, melainkan kontrak pembagian kekuasaan dan moral. Rakyat seolah dijanjikan “makan gratis”, padahal biaya sebenarnya akan dibayar melalui utang yang diwariskan pada anak cucu bangsa.
Ketatanegaraan yang Dipermainkan
Apa yang diungkapkan Cak Nun sebenarnya bukan hanya ramalan spiritual semata, melainkan refleksi mendalam atas realitas sistem ketatanegaraan. Kita yang sudah terkooptasi oleh elite ekonomi, oligarki modal, dan jaringan kekuasaan.
Konstitusi kita seharusnya menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, namun faktanya, rakyat hanya dijadikan objek (kejahatan) politik. Para elite memanfaatkan program populis yang dibungkus narasi kesejahteraan untuk mengukuhkan legitimasi. Padahal sumber pendanaannya berasal dari beban utang yang kelak harus ditanggung oleh rakyat juga.
Membaca Ilham, Menemukan Jalan Perubahan
Ilham yang disampaikan Cak Nun sebenarnya adalah seruan agar kita tidak terjebak pada euforia semu. Program makan gratis bisa saja baik jika lahir dari kemandirian ekonomi dan keadilan fiskal. Tetapi jika ditopang utang luar negeri dan dijadikan alat (kejahatan) politik. Maka justru memperdalam ketergantungan dan melemahkan kedaulatan.
Cak Nun mengajak kita untuk membaca ulang struktur ketatanegaraan dan memperjuangkan Konstitusi Langit. Konsep yang meletakkan rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan, bukan sekadar angka di kotak suara atau objek dalam janji (kejahatan) politik.
Seruan untuk Eksekutor
Kini, tantangan bagi kita semua bukan sekadar menjadi penonton cerdas, melainkan menjadi eksekutor gagasan. Kita harus berani memikul tanggung jawab untuk mendesain ulang struktur negara yang menegakkan prinsip keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan kemandirian ekonomi.
Karena, seperti yang dikatakan Cak Nun, “Semua sudah diatur, tapi siapa yang berani keluar dari pola lama dan menjadi perahu yang membawa keselamatan?”