Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Indonesia hari ini ibarat mobil tua yang mogok di tengah jalan. Bodi luarnya masih dipoles, dicat ulang, dan dihias stiker janji (kejahatan) politik. Namun mesinnya sudah karatan, oli bocor, piston lemah, dan transmisi macet. Alih-alih dibawa ke bengkel untuk diperbaiki, mobil ini justru terus dipaksa berjalan, menambah kerusakan pada mesin, membahayakan penumpang, dan menipu mata publik.
Dalam banyak refleksi, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) selalu menekankan: “Negara ini bukan sekadar perlu diperbaiki, tapi harus ‘turun mesin’.” Artinya, kita tidak lagi bisa mengandalkan tambal sulam kebijakan, ganti oli permukaan, atau sekadar poles kosmetik wajah negara. Masalah bangsa ini sudah menyentuh akar terdalam: sistem ketatanegaraan yang salah sejak desain awal.
Problem Akad Nikah Sejarah
Kalau kita tarik ke belakang, Indonesia lahir dari “akad nikah” besar: Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945. Dalam dua momentum tersebut, semangatnya murni: memerdekakan bangsa, memulihkan martabat rakyat, dan menjunjung tinggi kedaulatan sejati. Namun, seiring waktu, akad suci itu dikhianati. Kedaulatan rakyat yang seharusnya menjadi jiwa negara, perlahan direbut elite partai politik dan para “kerajaan mini” yang bernama partai politik.
Cak Nun mengatakan, “Problem terbesar kita adalah sistem ketatanegaraan yang tidak membedakan antara negara dan pemerintah.” Negara seharusnya menjadi rumah rakyat (ro‘iyah), sedangkan pemerintah hanyalah pengelola rumah. Kini, pemerintah menjelma jadi penguasa absolut, dan rakyat direduksi menjadi sekadar “penduduk” yang diwajibkan tunduk pada aturan yang diciptakan elite penguasa.
Rusaknya Struktur dan Etika Pembagian Tugas
Ketika kita tidak mampu membedakan antara negara dan pemerintah, maka yang terjadi adalah tumpang tindih fungsi dan kekuasaan. Presiden yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi raja de facto. Partai politik yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat, justru menjadi kerajaan keluarga dan dinasti kekuasaan. Hukum yang seharusnya menjadi panglima keadilan, justru berubah menjadi alat legitimasi penindasan.
Inilah yang disebut Cak Nun sebagai “gembelengan”: memilih pemimpin hanya berdasarkan popularitas, ketampanan, atau kekuatan modal. Seperti mobil mogok yang didorong penumpang, bukan dibetulkan oleh montir ahli.
Konsekuensi: Masalah Ekonomi, Konstitusi, Logika, dan Nasionalisme
Kebijakan ekonomi hari ini sering kali hanya berorientasi pada investor asing, sementara petani, nelayan, buruh, dan rakyat kecil ditinggalkan. Harga kebutuhan pokok melambung, utang negara membengkak, dan kesenjangan sosial melebar.
Secara konstitusi, rakyat kehilangan ruang berdaulat. UUD yang seharusnya menjadi “kitab suci” sistem kenegaraan kita, berubah menjadi teks mati yang dipermainkan elite. Logika publik tumpul oleh polusi hoaks, propaganda, dan (kejahatan) politik pencitraan. Nasionalisme kita kabur, terjebak slogan semu, dan kehilangan rasa memiliki tanah air.
Saatnya Turun Mesin: Revolusi Damai
Cak Nun menyerukan revolusi damai, bukan kudeta, bukan pertumpahan darah. Tapi revolusi kesadaran kolektif untuk turun ke akar masalah: memperbaiki sistem ketatanegaraan. Menyusun ulang struktur negara dengan menjadikan rakyat sebagai pancer (pusat), bukan sekadar penonton.
Revolusi damai ini bisa dimulai dengan:
- Menyadarkan rakyat bahwa mereka pemilik sah rumah besar bernama Indonesia.
- Mengembalikan kedaulatan sepenuhnya ke tangan rakyat, bukan partai politik.
- Menyusun konstitusi baru (konstitusi langit) yang lahir dari rahim bangsa sendiri.
- Membangun etika nasional yang mengutamakan kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang.
Jangan Terlambat
Cak Nun berulang kali mengingatkan, jika kita terus menunda “turun mesin”, maka rumah (negara) ini akan benar-benar roboh. Penumpangnya (rakyat) akan tertindih puing kekacauan, dan kita akan kehilangan kesempatan memperbaiki masa depan.
Mari, kita tidak lagi berdebat soal ganti cat atau pasang stiker baru. Saatnya bongkar mesin, bersihkan kerak kecurangan, perbaiki sistem, dan kembalikan marwah rakyat sebagai pancer. Inilah jihad sejati kita: jihad ketatanegaraan demi keadilan dan kesejahteraan seluruh anak bangsa.