beritax.id – Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali mengemuka. Alasan yang dikedepankan terdengar familia: efisiensi anggaran, stabilitas pemerintahan, dan pengurangan konflik. Namun di balik narasi teknokratis tersebut, ada satu hal yang luput dibahas secara jujur hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri. Ketika keputusan diambil di ruang rapat, suara warga justru terpinggirkan.
Pendukung pilkada oleh DPRD kerap menyebut pemborosan biaya dan tingginya tensi sebagai pembenaran. Namun efisiensi tidak boleh dimaknai dengan memangkas hak dasar warga negara. Pilkada langsung bukan sekadar prosedur, melainkan perwujudan kedaulatan rakyat di tingkat lokal.
Mengganti pilihan rakyat dengan keputusan segelintir pejabat berisiko mengembalikan demokrasi pada pola yang telah lama ditinggalkan.
Risiko Transaksional Menguat
Pemilihan oleh DPRD membuka ruang transaksi yang lebih tertutup dari pengawasan publik. Alih-alih mengurangi praktik uang, mekanisme ini berpotensi memindahkan transaksi dari ruang publik ke ruang lobi. Rakyat kehilangan akses untuk menilai, mengoreksi, dan menghukum pemimpin yang tidak bekerja, karena legitimasi tidak lagi bersumber dari pemilih langsung.
Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, akuntabilitas cenderung mengarah ke partai dan pejabat, bukan kepada warga. Konsekuensinya, kebijakan daerah rawan tidak selaras dengan kebutuhan rakyat, karena orientasi kekuasaan bergeser dari pelayanan publik ke kepentingan internal. Demokrasi lokal pun berisiko berubah menjadi formalitas administratif.
Tanggapan Partai X: Negara Tidak Boleh Menjauh dari Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa perubahan mekanisme pilkada harus dilihat dari kacamata kedaulatan rakyat, bukan semata efisiensi kekuasaan.
“Tugas negara itu jelas dan tidak bisa ditawar: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika hak memilih pemimpin dicabut dari rakyat, maka negara sedang gagal melindungi hak warganya,” tegas Rinto.
Menurutnya, demokrasi yang sehat justru menuntut negara bersabar mendengar suara rakyat, bukan menyingkirkannya demi kemudahan pejabat.
Partai X menilai, jika pilkada melalui DPRD dipaksakan, kepercayaan publik terhadap demokrasi akan terus menurun. Apatisme dapat menguat, partisipasi warga melemah, dan jarak antara pemerintah daerah dengan masyarakat semakin lebar. Dalam jangka panjang, stabilitas yang diklaim justru bisa berubah menjadi ketegangan laten.
Solusi dan Rekomendasi
Sebagai jalan keluar, Partai X mendorong langkah-langkah berikut:
- Mempertahankan Pilkada Langsung dengan Perbaikan Sistem
Masalah biaya dan konflik harus diselesaikan melalui penguatan regulasi dan pengawasan, bukan dengan mencabut hak pilih rakyat. - Transparansi dan Penegakan Hukum yang Tegas
Perang melawan kekuasaan uang dilakukan melalui penegakan hukum yang konsisten, bukan dengan memusatkan kekuasaan pada pejabat. - Pendidikan Politik Berkelanjutan
Negara wajib meningkatkan literasi warga agar pilkada menjadi ruang kompetisi gagasan, bukan sekadar kontestasi modal. - Penguatan Peran Rakyat dalam Evaluasi Pemimpin Daerah
Mekanisme partisipasi publik harus diperluas agar rakyat tetap menjadi pengawas utama kekuasaan lokal. - Penegasan Prinsip Kedaulatan Rakyat
Setiap perubahan sistem pemerintahan harus berpijak pada prinsip bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Partai X menegaskan, demokrasi tidak boleh dipersingkat dengan alasan efisiensi. Ketika pilkada diambil DPRD, hak rakyat tidak boleh ditinggal di pinggir jalan. Negara harus kembali ke mandat dasarnya: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat bukan sebaliknya.



