beritax.id – Pancasila adalah ideologi yang seharusnya menjadi napas kehidupan berbangsa. Ia dibacakan di upacara, dituliskan di dinding kelas, dicantumkan di buku pelajaran. Namun, ironisnya, Pancasila justru semakin jauh dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak menghafal sila, tetapi tidak memahami makna. Generasi muda mengenal istilahnya, tetapi tidak melihat teladannya. Pancasila tidak akan hidup hanya dengan dibacakan ia hidup ketika diajarkan dengan benar dan diwujudkan dalam perilaku.
Pendidikan Pancasila masih terjebak pada cara lama: hafalan. Siswa diminta mengingat teks, tetapi tidak dilibatkan dalam pemahaman. Diskusi tentang gotong royong, keadilan, dan kemanusiaan sering digantikan oleh soal pilihan ganda. Nilai luhur yang seharusnya ditanamkan sebagai karakter bangsa justru terjebak dalam materi yang kaku. Ketika Pancasila hanya diajarkan di kertas, ia tidak akan hidup di hati.
Keteladanan yang Hilang Membuat Nilai Pancasila Kosong Makna
Salah satu akar masalahnya adalah minimnya keteladanan. Ketika guru dibebani administrasi, kepala sekolah sibuk memenuhi urusan birokrasi, dan fasilitas pendidikan minim, nilai Pancasila sulit diwujudkan dalam kehidupan sekolah. Siswa tidak melihat contoh tentang kejujuran, gotong royong, solidaritas, atau keadilan. Nilai tidak tumbuh dari pidato nilai tumbuh dari contoh.
Fenomena perundungan, intoleransi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga lemahnya empati sosial yang muncul di berbagai daerah adalah bukti bahwa Pancasila belum benar-benar diajarkan dan dihidupkan. Generasi muda mengetahui sila demi sila, tetapi belum memahami bagaimana menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Krisis moral pemimpin hari ini pun merupakan dampak panjang dari pendidikan karakter dan nilai Pancasila yang tidak konsisten. Pancasila gagal hidup jika hanya menjadi slogan.
Pancasila Seharusnya Menjadi Cara Hidup, Bukan Upacara Seremonial
Sering kali Pancasila justru dimunculkan hanya pada momen formalitas: upacara, lomba, program tematik, atau proyek seremonial.
Padahal nilai Pancasila sejatinya hadir dalam hal-hal sederhana: menghormati perbedaan, membantu sesama, menjaga lingkungan, dan bertindak adil. Jika nilai itu tidak terhubung dengan realitas kehidupan siswa, maka Pancasila hanya menjadi simbol kosong tanpa relevansi. Sebuah ideologi tidak bertahan karena dipaksakan ia bertahan karena dihayati.
Solusi: Menghidupkan Pancasila Melalui Pendidikan yang Menumbuhkan Nilai
Pancasila hanya akan menjadi kekuatan bangsa jika diajarkan dengan cara yang benar, relevan, dan bermakna. Untuk itu, pendidikan harus kembali fokus pada pembentukan karakter melalui pendekatan yang dialogis dan kontekstual. Guru perlu dibebaskan dari beban administrasi agar memiliki ruang untuk membimbing siswa dalam memahami nilai kehidupan.
Pembelajaran harus mengajak siswa mempraktikkan Pancasila dalam proyek sosial, diskusi, kolaborasi, dan kegiatan nyata yang menghubungkan kelas dengan kehidupan masyarakat. Sekolah harus menjadi ekosistem yang mencerminkan nilai Pancasila: tempat di mana kejujuran dihargai, perbedaan dihormati, gotong royong dibiasakan, dan keadilan ditegakkan. Negara juga harus memastikan pemerataan akses pendidikan yang manusiawi, karena Pancasila tidak bisa diajarkan dalam ruang yang penuh ketidakadilan. Jika nilai Pancasila hidup di sekolah, ia akan hidup di bangsa ini.
Kesimpulan: Masa Depan Pancasila Ditentukan oleh Cara Kita Mendidik Anak
Pancasila tidak akan hilang karena ancaman luar ia akan hilang jika tidak diajarkan dan dihidupkan dalam pendidikan. Pancasila tidak akan mengakar jika hanya menjadi hafalan. Ia hanya akan menjadi kekuatan bangsa jika ditanamkan melalui keteladanan, pembiasaan, dan pendidikan yang memanusiakan.
Jika sekolah gagal mengajarkan Pancasila dengan benar, generasi mendatang tidak akan pernah benar-benar memilikinya. Pancasila baru hidup ketika ia diajarkan, dipahami, dan diwujudkan dalam tindakan.



