Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Ada kegelisahan mendalam untuk rakyat yang pernah disampaikan Cak Nun dalam berbagai forum kebangsaan: “Bangsa ini kok tidak mengalami pembusukan, padahal sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya salah kaprah?”
Pertanyaan itu terasa sederhana, tetapi justru itulah yang membuatnya mengganggu. Sebab jika kita jujur menengok realitas, hampir semua indikator kenegaraan menunjukkan masalah serius: hukum yang sering kehilangan keadilan substantif, politik yang transaksional, ekonomi yang timpang, serta kebijakan publik yang kerap menjauh dari kepentingan rakyat. Namun di tengah kondisi itu, bangsa ini tetap berjalan. Tidak runtuh, tidak berhenti, dan seolah tidak merasa perlu segera menyembuhkan diri.
Mungkin persoalannya bukan pada absennya penyakit, melainkan pada kebiasaan hidup bersama penyakit itu sendiri.
Hari ini, cerita tentang kerusakan negara hadir di mana-mana. Media nasional baik cetak maupun online serta industri konten digital secara masif mengamplifikasi narasi kegagalan negara. Skandal, konflik elite, dan carut-marut sistem diproduksi dan direproduksi tanpa henti. Bukan semata karena kepedulian, tetapi juga karena satu kenyataan yang tidak bisa diabaikan: cerita kerusakan laku dijual.
Dalam logika industri media dan konten, krisis mendatangkan klik, viewer, rating, dan iklan. Semakin buruk ceritanya, semakin tinggi atensi publik. Akibatnya, negara yang sakit tidak hanya menjadi objek kritik, tetapi juga sumber keuntungan ekonomi. Di titik ini, kritik berisiko bergeser dari alat koreksi menjadi komoditas.

Kondisi ini membentuk pola respons sosial yang dapat dianalogikan secara sederhana namun tajam.
Rakyat yang gemar mengonsumsi dan mengulang cerita kerusakan negara ibarat bau (set) ia menandakan ada masalah, tetapi berhenti sebagai gejala. Rakyat atau pihak yang hidup dari masalah akibat kerusakan negara, baik melalui popularitas, kekuasaan, maupun keuntungan ekonomi, ibarat belatung tumbuh subur di tengah pembusukan. Sementara itu, rakyat yang marah, kecewa, tetapi enggan belajar atau menyusun jalan keluar, ibarat iritasi—reaksi spontan yang menyakitkan, tetapi tidak menyembuhkan.
Di sisi lain, masih ada kelompok yang jarang mendapat sorotan: rakyat yang mau belajar, berpikir, dan menyusun solusi. Mereka inilah yang dapat dianalogikan sebagai sel imun—tidak sensasional, tidak viral, tetapi bekerja menjaga agar tubuh bangsa tidak benar-benar mati. Lebih jauh lagi, rakyat yang berani membangun sistem baru, merancang ulang tata kelola dan konstitusi, adalah regenerasi jaringan proses pemulihan yang lambat, melelahkan, tetapi esensial.
Masalah Indonesia hari ini bukan sekadar negara yang sakit, melainkan rakyat yang mulai terbiasa dengan sakit itu. Ketika penderitaan menjadi keseharian, kritik menjadi hiburan, dan kemarahan menjadi identitas, maka tawaran solusi terasa mengganggu. Solusi menuntut belajar, disiplin berpikir, dan tanggung jawab sesuatu yang tidak instan dan tidak selalu populer.
Peran Sekolah Negarawan
Dalam konteks inilah Sekolah Negarawan mencoba mengambil peran yang berbeda. Ia tidak menjual kemarahan, tetapi membangun kesadaran. Ia berupaya menjadi sel imun sekaligus produsen regenerasi jaringan, dengan menyusun rancangan akademik dan naskah Rancangan Amandemen Kelima UUD NRI 1945 sebagai ikhtiar pembenahan sistemik. Jalan ini sunyi dari sorotan, tetapi justru menentukan apakah bangsa ini akan sembuh atau terus hidup dalam sakit yang dinormalisasi.
Pertanyaan akhirnya kembali kepada kita semua:
apakah kita ingin terus menjadi rakyat yang terbiasa hidup dalam negara yang sakit, atau mulai mengambil peran dalam proses penyembuhan bersama?
Sebab bangsa tidak mati karena penyakitnya semata. Bangsa mati ketika terlalu banyak warganya memilih beradaptasi dengan sakit, daripada berjuang untuk sembuh.



