Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Pendidikan adalah fondasi peradaban. Namun di negeri ini, fondasi itu sedang keropos. Bukan karena guru yang tidak mampu, bukan pula karena siswa yang malas. Melainkan karena struktur ketatanegaraan kita gagal menempatkan pendidikan sebagai pusat dari pembangunan bangsa. Inilah akar dari krisis pendidikan nasional atau lebih tepat disebut sebagai bencana mutu pendidikan.
Pendidikan Tak Lagi Mencetak Manusia Merdeka
Pendidikan Indonesia hari ini lebih banyak mencetak pekerja, bukan pemikir. Mencetak buruh industri, bukan pemimpin masa depan. Sistem pendidikan kita gagal membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berkarakter karena seluruh desain kebijakan pendidikan tunduk pada agenda (kejahatan) politik lima tahunan, bukan agenda kebudayaan jangka panjang.
Dalam struktur negara yang ideal, pendidikan dikelola sebagai proyek peradaban lintas generasi. Tapi dalam struktur negara hari ini, pendidikan menjadi arena proyek dan kepentingan birokratik sempit.
Kesenjangan Akses dan Kualitas: Cermin Gagalnya Pemerataan Keadilan Sosial
Masih terlalu banyak anak-anak bangsa yang kesulitan mengakses pendidikan bermutu hanya karena lahir di pelosok atau berasal dari keluarga miskin. Kesenjangan pendidikan antara pusat dan daerah, kota dan desa, swasta dan negeri, semua dibiarkan melebar. Pemerintah pusat terlalu sibuk menyusun kurikulum dan regulasi teknis, namun tidak membangun sistem distribusi pendidikan yang adil dan menjangkau seluruh anak bangsa.
Ini bukan semata soal anggaran, tapi soal struktur kekuasaan pendidikan yang terlalu sentralistik dan elitis.
Pendidikan Tidak Relevan dengan Kebutuhan Bangsa
Kurikulum berubah-ubah mengikuti menteri, bukan mengikuti arah peradaban. Lulusan perguruan tinggi bingung cari kerja, lulusan SMK tidak siap kerja, dan pendidikan karakter menjadi jargon kosong. Sistem pendidikan kita tidak punya peta jalan yang menyatu dengan strategi kebangsaan. Padahal, pendidikan seharusnya mencetak manusia yang mengerti negaranya, bukan hanya mengejar ranking PISA (Programme for International Student Assessment).
Struktur Ketatanegaraan Gagal Melindungi Pendidikan dari Kepentingan (kejahatan) Politik
Kesalahan terbesar kita adalah menempatkan pendidikan di bawah kendali (kejahatan) politik jangka pendek. Menteri berganti, kebijakan berubah. Kepala daerah ikut mencampuri urusan teknis pendidikan. Bahkan dunia pendidikan tidak diberi otonomi untuk tumbuh sebagai institusi budaya bangsa.
Ini semua karena struktur ketatanegaraan tidak memiliki konsep yang jelas tentang kedaulatan pendidikan. Pendidikan hanya dianggap sektor, bukan pilar peradaban. Padahal dalam banyak negara maju, pendidikan dikelola oleh lembaga khusus yang otonom, independen, dan hanya tunduk pada konstitusi kebudayaan.
Solusi: Pendidikan Harus Kembali Menjadi Urusan Negara, Bukan Pemerintah
Sudah saatnya kita memisahkan antara negara dan pemerintah dalam urusan pendidikan. Negara harus menetapkan ideologi pendidikan nasional yang tidak bisa diubah oleh kepentingan partai atau menteri. Pemerintah cukup sebagai pelaksana.
Kita juga harus memiliki:
- Majelis Pendidikan Nasional yang bersifat konstitusional, bukan administratif.
- Desentralisasi pendidikan berbasis budaya lokal, agar kurikulum tidak terpusat tapi tetap dalam bingkai Pancasila.
- Pendidikan karakter berbasis integritas, bukan sekadar moralitas kosong.
Penutup: Pendidikan Bukan Proyek, Tapi Takdir Peradaban
Jika negara terus menjadikan pendidikan sebagai bagian dari mekanisme birokrasi dan bukan sebagai jantung kebudayaan nasional, maka generasi emas 2045 hanyalah mimpi kosong.
Dan bila pendidikan terus ditundukkan oleh struktur ketatanegaraan yang keliru, maka jangan salahkan anak bangsa ketika mereka kehilangan jati diri, kehilangan daya saing, dan kehilangan semangat untuk membangun bangsanya sendiri.
Negara besar dibangun oleh sistem pendidikan yang besar. Tapi sistem pendidikan tidak akan pernah besar jika struktur negara rusak.