Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat untuk mencari keadilan. Namun, bagaimana jika ruang yang seharusnya penuh keberanian moral dan kesetaraan ini justru berubah menjadi panggung evaluasi personal yang merendahkan pihak berperkara? Inilah yang patut kita soroti dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-009829.99/2024/PP.M.IB Tahun 2025, perkara CV Rose Selular melawan Direktorat Jenderal Pajak.
Formil Lengkap, Substansi Layu, Kurangnya Keadilan
Jika kita menilai secara formil, putusan tersebut memang terlihat lengkap. Ia memuat kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, ringkasan gugatan dan bantahan, pertimbangan hukum, hingga amar putusan yang tegas. Secara administratif, tidak ada yang luput. Namun, apakah keadilan hanya soal kelengkapan formil?
Sejak awal, rakyat (dalam hal ini CV Rose Selular) mempersoalkan prosedur legal standing tergugat, surat tugas, dan hak untuk didengar secara utuh di persidangan. Penggugat bahkan mengajukan permohonan menghadirkan saksi ahli yang kemudian ditolak dengan alasan tidak relevan. Semua dalil formil dan materil yang diajukan seolah hanya “disinggung” tanpa diberikan ruang pembuktian mendalam.
Rakyat Butuh Keadilan, Bahasa Putusan yang Merendahkan
Puncak yang memancing perhatian publik dan komunitas hukum adalah ketika majelis hakim menyebut bahwa pernyataan kuasa hukum dan pegawai Penggugat (Rinto Setiyawan) bersifat:
“Tidak sopan, mengancam (intimidatif), merendahkan martabat Pengadilan Pajak, serta menunjukkan kurangnya literasi hukum.”
Penggunaan istilah “kurang literasi”, “intimidatif”, dan “merendahkan martabat” bukanlah frasa hukum yang netral, melainkan diksi bernada personal yang bersifat merendahkan. Dalam ruang peradilan, hakim seharusnya berperan sebagai pihak yang imparsial, mendengar dalil dari semua pihak secara berimbang, dan tidak tergelincir pada penilaian moral subjektif.
Sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak wajib tunduk pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak boleh “mengadili” kepribadian pihak berperkara, melainkan menguji dalil hukum dan bukti secara objektif.
Rakyat Adalah Pemilik Kedaulatan, Berikan Keadilan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sebagai rakyat, CV Rose Selular memiliki hak konstitusional untuk mengajukan keberatan, mempersoalkan prosedur, dan menghadirkan saksi demi membela diri. Namun, bukannya didengar, suara rakyat justru dibungkam dengan label “intimidatif”.
Peradilan yang sehat seharusnya membuka ruang seluas-luasnya untuk rakyat membela diri, meskipun cara penyampaiannya keras atau kritis. Demokrasi tidak hanya tentang suara mayoritas, tetapi juga tentang perlindungan hak minoritas dan hak perorangan di hadapan hukum.
Prinsip Imparsialitas yang Dilanggar
Hakim harus bebas dari rasa benci, dendam, atau ketidaksukaan pribadi. Inilah prinsip imparsialitas yang menjadi ruh setiap peradilan. Pelanggaran prinsip ini bukan sekadar kesalahan etika, tetapi juga menciderai konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan hak setiap warga negara atas perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahasa yang digunakan hakim dalam putusan CV Rose Selular mencerminkan penilaian personal yang tidak sepatutnya dimasukkan dalam dokumen resmi negara. Dalam doktrin hukum, putusan yang sarat muatan personal dapat dipandang sebagai “cacat yuridis substantif”. Karena membangun bias yang dapat memengaruhi penilaian hukum secara keseluruhan.
Pancasila sebagai Kompas Moral
Jika kita merujuk pada Pancasila, khususnya Sila II “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan Sila V “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Maka kita akan sadar bahwa keadilan bukan hanya perkara hukum tertulis (positivistik). Tetapi juga soal keberanian moral, empati, dan perlakuan manusiawi.
Bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang keadilan sosial, jika rakyat yang menggugat malah direndahkan di ruang yang seharusnya memberi perlindungan?
Implikasi Terhadap Legitimasi Putusan
Putusan yang memuat kalimat bernada merendahkan dan memperlihatkan kecenderungan ketidaksukaan hakim bukan hanya berbahaya bagi pihak yang kalah, tetapi juga menggerus legitimasi moral dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan pajak secara keseluruhan.
Dalam konteks Peninjauan Kembali (PK), ini bisa dijadikan dasar argumentasi “kekeliruan nyata” karena menciderai prinsip keadilan dan asas imparsialitas. Dalam hukum acara, PK dapat diajukan jika terdapat novum atau terdapat kekeliruan nyata yang jelas, termasuk jika majelis hakim terbukti menyimpang dari kewajiban netralitas.
Apakah Putusan Ini Patut Dihargai?
Jawaban tegas: Tidak.
Sebagai masyarakat yang beradab, kita tidak boleh mengamini putusan yang lahir dari ego atau rasa kebencian. Sekalipun putusan tersebut lengkap secara formil. Putusan yang berangkat dari ketidaknetralan tidak layak dihargai karena telah mengingkari sumpah hakim, nilai Pancasila, dan prinsip negara hukum.
Penutup: Saatnya Peradilan Berani Membela Kebenaran
Kasus CV Rose Selular ini adalah momentum refleksi bersama. Bahwa prosedur hukum yang rapi bukan jaminan terciptanya keadilan substantif. Bahwa pengadilan sejatinya bukan panggung bagi retorika personal, melainkan ruang suci rakyat menuntut kebenaran.
Saat ini, kita membutuhkan hakim-hakim yang tidak hanya pintar membaca pasal, tetapi juga berani berdiri membela keadilan dan kebenaran, tanpa rasa benci dan tanpa rasa superioritas.
Keadilan bukan sekadar kalimat di kepala putusan, melainkan tindakan nyata melayani rakyat dengan penuh adab. Karena keadilan bukan sekadar hukum, tetapi juga kemanusiaan.