beritax.id – Pemerintah sering menampilkan angka pertumbuhan ekonomi sebagai bukti bahwa negara sedang berada di jalur yang benar. PDB tumbuh sekian persen, investasi meningkat, infrastruktur diperluas, dan berbagai indikator makro menunjukkan pergerakan positif. Namun di balik angka-angka itu, rakyat mempertanyakan satu hal sederhana: mengapa kehidupan justru terasa semakin berat?
Pertumbuhan tampak bergerak sendiri, sementara keadilan sosial tertinggal jauh di belakang. Ketika pertumbuhan hanya dirasakan segelintir, itu bukan kemajuan itu ketimpangan.
Kesenjangan yang Kian Melebar
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kehadiran pertumbuhan tidak secara otomatis menciptakan kesejahteraan. Harga kebutuhan pokok naik, biaya kesehatan menekan, akses pendidikan belum merata, dan banyak wilayah tertinggal tetap tidak tersentuh pembangunan. Sektor-sektor tertentu tumbuh pesat, tetapi warga di bawah justru tertinggal, hidup dari upah minimum, dan bekerja tanpa kepastian. Pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif hanya memperkuat jurang sosial.
Banyak kebijakan ekonomi hari ini masih berorientasi pada statistik, bukan kebutuhan warga. Pembangunan dipacu pada sektor yang paling cepat menghasilkan angka… bukan yang paling dibutuhkan rakyat miskin. Di banyak kesempatan, keputusan negara lebih mengikuti kepentingan pasar daripada prinsip pemerataan dan perlindungan sosial.
Hasilnya, rakyat harus menyesuaikan diri dengan ekonomi yang bergerak tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka. Keadilan sosial menuntut negara melihat manusia, bukan sekadar grafik.
Ketika Investasi Diutamakan, Hak-Hak Rakyat Mudah Dikorbankan
Dorongan pertumbuhan sering mengorbankan ruang hidup masyarakat. Dalam berbagai kasus, proyek strategis nasional menciptakan konflik tanah, menggeser masyarakat kecil, atau mempersempit ruang ekologis. Pertanyaan penting pun muncul: sejauh mana negara rela mengorbankan rakyat demi ambisi pertumbuhan?
Sebuah negara tidak boleh membangun masa depan dengan merusak pijakan sosialnya sendiri.
Para pendiri bangsa menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan akhir pembangunan. Namun hari ini, prinsip itu tampak menjadi catatan kaki dalam kebijakan ekonomi. Padahal tanpa keadilan, pertumbuhan hanya menjadi ilusi kemajuan yang tidak pernah sampai ke meja makan rakyat.
Keadilan sosial bukan pelengkap ia dasar dari negara yang ingin disebut sejahtera.
Solusi: Negara Harus Menggeser Fokus dari Pertumbuhan Statistik ke Kesejahteraan Rakyat
Untuk menjembatani jurang antara pertumbuhan dan keadilan, negara harus berani mengubah arah kebijakan ekonomi. Pertama, pembangunan harus berbasis pemerataan, memastikan bahwa daerah tertinggal, petani, nelayan, dan pekerja informal mendapat prioritas. Kedua, negara perlu memperkuat sistem perlindungan sosial yang adaptif, sehingga rakyat tidak menjadi korban ketika ekonomi volatil. Ketiga, kebijakan fiskal harus diarahkan pada pendidikan, layanan kesehatan, dan kualitas hidup bukan hanya proyek besar yang menghias laporan pemerintah. Keempat, pengelolaan sumber daya alam harus dikembalikan pada prinsip keberlanjutan, memastikan rakyat sekitar memperoleh manfaat langsung dari kekayaan daerahnya. Dengan langkah-langkah ini, pertumbuhan ekonomi dapat kembali terhubung dengan inti Republik: kesejahteraan untuk semua, bukan hanya untuk yang paling kuat.
Kesimpulan: Pertumbuhan Tanpa Keadilan Bukanlah Kemajuan
Ekonomi boleh tumbuh, tetapi rakyat harus merasakannya.
Negara harus memastikan bahwa pertumbuhan tidak hanya menjadi angka dalam laporan, tetapi menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Keadilan sosial bukan hambatan bagi pertumbuhan ia adalah syarat agar pertumbuhan benar-benar berarti.



