Oleh Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – “Kita mohon saling mendoakan kita berumur panjang, karena Indonesia bukan hanya belum selesai perjuangannya, justru baru akan kita mulai perjuangan Indonesia ini. Insya Allah tidak semudah itu kita hancur, karena di balik kebodohan kita, kita punya itikad yang baik. Dan kalau rakyat ikut rusak, sebenarnya dia adalah pihak yang dirusak, bukan orang yang ingin merusak dirinya. Dia hanya korban dari kerusakan yang ditimpakan oleh sistem dan pemimpin-pemimpin yang tidak peduli kepada perusakan yang dilahirkannya.”
— Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Pernyataan tersebut bukan sekadar nasihat spiritual. Ia adalah tamparan moral terhadap bangsa ini, terutama kepada para penyelenggara negara. Dalam banyak kesempatan, saya mengatakan bahwa kerusakan bangsa ini tidak lahir dari rakyat yang jahat. Melainkan dari sistem yang salah arah dan struktur negara yang cacat desain. Cak Nun benar: rakyat itu bukan akar masalah, mereka justru korban utama dari sistem yang rusak.
Struktur tata negara kita pasca-amandemen UUD 1945 dirancang tanpa fondasi manajemen negara yang kuat, tidak punya mekanisme yang sehat dalam mengatur kekuasaan, dan terlalu lemah dalam memastikan distribusi tanggung jawab yang adil. Akibatnya, negara tidak dibangun sebagai alat rakyat, tetapi sebagai kendaraan kekuasaan elit. Kekuasaan pun hanya berputar di tangan segelintir orang, sementara rakyat hanya diminta memilih, mendukung, lalu disuruh diam.
Lalu siapa yang paling terdampak? Rakyat
Mereka disuruh patuh kepada sistem yang mempermainkan nasib mereka. Ketika BUMN rugi karena dikelola tidak transparan, rakyat yang dibebani lewat pajak.
Ketika universitas menaikkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) karena rumah sakit pendidikan mereka rugi, mahasiswa dan orang tua yang jadi korban. Pajak dinaikkan tanpa perbaikan sistem belanja negara, pelaku UMKM sampai pedagang kecil yang paling menderita.
Tak sedikit dari rakyat yang akhirnya mencari jalan pintas: korupsi kecil-kecilan, manipulasi data, suap dalam pelayanan publik, hingga budaya saling menyalahkan. Tapi apakah semua itu murni kesalahan moral rakyat? Tentu tidak. Mereka belajar dari pemimpinnya, dari sistem yang selama ini tidak jujur, tidak adil, dan tidak berpihak. Kalau negara saja tak bisa dipercaya, bagaimana rakyat bisa diajarkan untuk berlaku benar?
Maka, jangan salahkan rakyat jika mereka ikut rusak. Sebab dalam struktur negara yang sehat, rakyat dibimbing dan diberdayakan, bukan disesatkan. Dalam sistem yang benar, negara hadir untuk melindungi warga dari kerusakan, bukan menciptakan iklim rusak yang mengharuskan rakyat bertahan dalam kepalsuan dan kepura-puraan.
Kita bisa berdebat soal moralitas rakyat. Tapi satu hal yang tidak bisa kita sangkal: kerusakan yang terjadi di masyarakat hari ini adalah bayang-bayang langsung dari kesalahan negara dalam mendesain dan menjalankan kekuasaannya. Dan selama kita tidak memperbaiki struktur itu, selama kita membiarkan sistem yang busuk tetap berjalan, maka rakyat akan terus menjadi korban dan lebih jauh lagi, mereka akan dianggap pelaku dari sesuatu yang sebenarnya bukan mereka yang mulai.
Inilah saatnya kita koreksi desain negara ini secara fundamental. Bukan dengan saling menyalahkan rakyat, tapi dengan membangun ulang struktur kenegaraan yang beradab, transparan, dan adil. Rakyat tak butuh penguasa yang suci, mereka hanya butuh negara yang peduli dan pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan itu bukan hak, tapi amanah.
