Oleh: Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Di balik jargon demokrasi dan pemerintahan modern, kita sedang menyaksikan sesuatu yang sangat purba sedang tumbuh subur raja-raja kecil. Fenomena ini bukan hanya simbolik. Mereka hadir nyata di berbagai sudut pemerintahan, lembaga negara, hingga institusi pendidikan. Mereka bukan dipilih rakyat, tapi dibentuk oleh cacatnya struktur negara, sebuah sistem yang jauh dari manajemen modern seperti yang dijalankan oleh big corporate.
Sebuah perusahaan besar, multinasional, dengan reputasi dan standar internasional tentu tidak akan membiarkan struktur organisasinya dipenuhi oleh konflik kepentingan, pemborosan, atau kekuasaan yang tak terkontrol. Namun ironi terjadi: negara, yang mengelola hidup ratusan juta rakyat, justru beroperasi seperti perusahaan yang salah urus. Parahnya lagi, tanpa mekanisme evaluasi yang sehat.
Di pusat kekuasaan, kita melihat lahirnya oligarki, segelintir elite yang mengendalikan kebijakan, anggaran, bahkan arah pembangunan. Tapi bersamaan dengan itu, di bawahnya juga bermunculan raja-raja kecil, pemilik kuasa lokal yang tidak bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan kepada jaringan kekuasaan di atasnya.
Lihat saja di lingkungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Banyak direksi dan komisaris tidak hanya menjalankan tugas formalnya, tapi juga menyuburkan perusahaan boneka. Proyek-proyek pendukung seperti pemeliharaan gedung, sistem keamanan, hingga katering rutin kerap disubkontrakkan ke perusahaan yang secara de facto terafiliasi dengan mereka sendiri atau keluarganya. Jabatan publik dijadikan celah bisnis privat.
Hal ini juga terjadi di BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Tak jarang, posisi direktur dipakai bukan sebagai tanggung jawab, tapi sebagai kesempatan mengatur lalu lintas proyek dan dana publik ke kelompoknya sendiri.
Lalu bagaimana di dunia akademik?
Tak kalah mengejutkan. Di banyak universitas negeri, telah muncul praktik serupa dalam unit-unit bisnis kampus, seperti rumah sakit pendidikan atau pusat riset. Rumah sakit milik universitas yang seharusnya menopang layanan dan pembelajaran, justru selalu rugi secara finansial. Mengapa? Karena di dalamnya ada raja kecil yang menentukan jalur distribusi, belanja operasional, hingga rekrutmen. Padahal, sistem seharusnya berbasis pada transparansi dan efisiensi ilmiah.
Ujung-ujungnya? Rakyatlah yang dikorbankan.
Ketika BUMN rugi, mereka dengan enteng minta dana talangan dari APBN. Jika APBN tidak cukup, maka pajak pusat dinaikkan.
Ketika BUMD rugi, solusinya bukan pembenahan sistem, tapi kenaikan pajak daerah.
Ketika unit bisnis kampus seperti rumah sakit merugi, mereka minta subsidi dari kantor pusat universitas. Maka kantor pusat akan menaikkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) mahasiswa. Yang menanggung semua ini siapa? Lagi-lagi rakyat, mahasiswa, dan orang tua yang tidak punya pilihan
Apa kesimpulannya?
Kita sedang hidup dalam sistem yang rusak secara desain.
Ini bukan sekadar soal etika atau moral pribadi pejabat, tapi struktur tata negara kita memang membuka ruang untuk feodalisme baru. Ketiadaan kontrol lintas fungsi, lemahnya pemisahan kekuasaan, dan matinya mekanisme checks and balances membuat negara ini bukan dijalankan oleh manajer negara, melainkan oleh penguasa-penguasa kecil yang bermain kuasa di levelnya masing-masing.
Sudah waktunya kita bersikap. Amandemen kelima UUD 1945 bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan historis. Kita harus mendesain ulang struktur negara agar mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola modern yang efektif, transparan, dan terdistribusi secara adil.
Kalau tidak, republik ini akan terus dijejali oleh raja-raja kecil yang tak terlihat, tapi merampok hak-hak rakyat setiap hari.