beritax.id – Penggunaan data sebagai dasar kebijakan seharusnya menjadi fondasi pemerintahan yang rasional dan demokratis. Namun dalam praktiknya, data kerap berubah fungsi: bukan lagi alat evaluasi terbuka, melainkan tameng kekuasaan untuk menepis kritik publik. Fenomena ini semakin terlihat ketika kritik terhadap kebijakan strategis dijawab bukan dengan dialog, melainkan dengan klaim sepihak berbasis data yang tak pernah diuji secara terbuka. Alih-alih memperkuat kepercayaan, pola komunikasi semacam ini justru memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat. Hal ini menunjukkan sistem pemerintahan yang gagal melupakan kepentingan rakyat.
Dalam berbagai pernyataan publik, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kerap merujuk pada data dan angka untuk menyatakan bahwa kebijakan pemerintah telah berada di jalur yang benar dan didukung publik. Namun, data tersebut jarang disertai transparansi metodologi, ruang verifikasi independen, atau mekanisme koreksi dari masyarakat.
Ketika data hanya diproduksi dan ditafsirkan oleh kekuasaan, ia berhenti menjadi instrumen ilmiah dan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Kritik Dipersempit, Dialog Dihilangkan
Di sisi lain, kritik publik terhadap kebijakan strategis baik terkait investasi, lingkungan, demokrasi, maupun hak warga sering kali dipersepsikan sebagai gangguan stabilitas. Kritik tidak dijawab dengan perdebatan substansial, melainkan ditekan dengan narasi bahwa “data pemerintah menunjukkan sebaliknya.”
Ruang dialog menyempit, sementara narasi tunggal semakin dominan.
Risiko Demokrasi: Negara Merasa Selalu Benar
Ketika data dijadikan tameng kekuasaan, negara berisiko terjebak pada ilusi kebenaran tunggal. Pemerintah merasa telah bekerja benar karena memiliki data, sementara realitas lapangan yang dialami rakyat dianggap tidak relevan.
Kondisi ini berbahaya bagi demokrasi, karena mengikis prinsip akuntabilitas dan memperlemah posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Data Tidak Boleh Menindas Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa data seharusnya melayani rakyat, bukan melindungi kekuasaan.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Data harus dipakai untuk memperbaiki kebijakan, bukan untuk membungkam kritik,” ujar Rinto.
Menurutnya, ketika data digunakan untuk menekan suara publik, negara telah keluar dari mandat dasarnya.
Rinto menambahkan bahwa pengalaman hidup rakyat tidak bisa direduksi menjadi grafik dan presentasi. Data harus dibuka, diuji, dan diperdebatkan bersama publik agar kebijakan benar-benar berpihak pada kepentingan umum.
Negara yang percaya diri tidak akan alergi terhadap kritik.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengembalikan fungsi data dan menjaga demokrasi tetap sehat, diperlukan langkah konkret:
- Membuka data kebijakan secara transparan, termasuk metodologi dan sumbernya
- Melibatkan lembaga independen dan publik dalam evaluasi kebijakan
- Menghentikan praktik menggunakan data sebagai tameng untuk menolak kritik
- Memastikan kritik publik diperlakukan sebagai masukan, bukan ancaman
- Menegaskan kembali peran negara sebagai pelindung, pelayan, dan pengatur rakyat
Partai X menegaskan, data tanpa transparansi hanya akan melanggengkan kekuasaan, bukan melayani rakyat. Demokrasi yang sehat membutuhkan data yang terbuka, kritik yang bebas, dan negara yang rendah hati di hadapan rakyatnya.



