beritax.id – Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPRD kembali mencuat dan langsung memantik kegelisahan publik. Di tengah kelelahan rakyat menghadapi berbagai krisis ekonomi, sosial, dan lingkungan muncul gagasan yang justru berpotensi memutus hubungan langsung antara rakyat dan pemimpinnya di daerah.
Pertanyaan mendasar pun muncul: jika kepala daerah dipilih DPRD, lalu apa makna suara rakyat dalam pemilu legislatif?
Mandat Rakyat yang Berlapis, Bukan Sekadar Formalitas
Dalam sistem demokrasi, pemilihan DPRD dan kepala daerah memiliki mandat yang berbeda. Rakyat memilih DPRD untuk fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Sementara kepala daerah dipilih langsung untuk menjalankan pemerintahan dan pelayanan publik.
Ketika DPRD diberi kewenangan memilih kepala daerah, mandat rakyat menjadi berlapis dan berpotensi menyimpang dari kehendak pemilih.
Risiko Transaksi di Balik Pintu Tertutup
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD membuka ruang transaksi yang sulit diawasi publik. Proses yang seharusnya terbuka dan kompetitif berubah menjadi negosiasi pejabat di ruang rapat.
Situasi ini berisiko menjauhkan dari akuntabilitas publik dan justru mengikatnya pada kepentingan jangka pendek di DPRD.
Demokrasi Dipersingkat atas Nama Efisiensi
Alasan efisiensi sering digunakan untuk membenarkan wacana ini biaya pilkada dianggap mahal, konflik dinilai tinggi. Namun, efisiensi yang mengorbankan partisipasi rakyat justru mereduksi demokrasi menjadi sekadar prosedur administratif.
Demokrasi memang membutuhkan biaya, tetapi kehilangan legitimasi publik jauh lebih mahal dampaknya.
Tanggapan Partai X: Rakyat Tidak Boleh Dipinggirkan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa wacana ini menunjukkan kegagalan memahami esensi kedaulatan rakyat.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika hak memilih pemimpin daerah diambil dari rakyat, maka negara sedang gagal menjalankan ketiga tugas itu sekaligus. Rakyat bukan penonton dalam demokrasi, mereka adalah pemiliknya,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa DPRD seharusnya menjadi pengawas kekuasaan daerah, bukan pengganti suara rakyat.
Mengalihkan pemilihan kepala daerah ke DPRD berisiko memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika suara rakyat dipersempit, apatisme meningkat dan partisipasi kekuasaan menurun. Dalam jangka panjang, demokrasi lokal bisa kehilangan legitimasi sosialnya.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk menjaga kedaulatan rakyat dan kualitas demokrasi daerah, diperlukan langkah-langkah berikut:
- Mempertahankan pemilihan langsung kepala daerah sebagai wujud kedaulatan rakyat
- Memperbaiki tata kelola pilkada agar lebih adil, transparan, dan efisien tanpa menghilangkan hak pilih
- Memperkuat fungsi DPRD sebagai pengawas, bukan pengganti suara rakyat
- Meningkatkan pendidikan agar rakyat memahami peran tiap lembaga
- Mendorong reformasi pendanaan untuk mengurangi biaya tanpa memangkas demokrasi
Partai X menegaskan, demokrasi tidak boleh disederhanakan dengan cara meminggirkan rakyat. Jika DPRD memilih kepala daerah, maka pertanyaan “untuk apa rakyat memilih DPRD?” menjadi tanda bahaya bagi masa depan demokrasi lokal Indonesia.



