beritax.id – Dalam sistem demokrasi, kekuasaan bukanlah milik pemimpin ia adalah amanah rakyat yang diberikan sementara waktu. Namun dalam praktiknya, batasan kekuasaan sering kali kabur, dibengkokkan, bahkan diterabas ketika kepentingan individu lebih dominan daripada etika pemerintahan. Di Indonesia, publik semakin kritis melihat bagaimana sebagian pemimpin menguji batas kewenangannya, seolah negara dapat dipersonalisasi sesuai kehendak penguasa. Demokrasi hanya bisa bertahan jika batas kekuasaan dijaga secara tegas.
Ketika Kekuasaan Ingin Mengatur Lebih Banyak daripada Seharusnya
Salah satu tantangan terbesar demokrasi adalah kecenderungan pemimpin untuk memperluas kewenangannya. Mulai dari regulasi yang makin ketat, keputusan yang tidak melibatkan publik, hingga upaya menempatkan kekuasaan eksekutif di atas lembaga-lembaga lainnya. Akibatnya, keseimbangan kekuasaan pilar utama demokrasi menjadi terganggu. Ketika satu cabang kekuasaan terlalu dominan, negara bergerak menuju otoritarianisme yang halus. Pemimpin yang tidak membatasi dirinya akan membatasi demokrasi.
Batas Kekuasaan Bukan Ancaman bagi Pemimpin, Tetapi Pelindung Negara
Banyak pemimpin merasa bahwa pembatasan kekuasaan adalah hambatan bagi efektivitas pemerintah. Padahal dalam demokrasi, batas kekuasaan justru memastikan bahwa negara tidak dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau kekuasaan itu sendiri. Tanpa batasan, negara akan kehilangan akuntabilitas dan semakin menjauh dari rakyat. Batas kekuasaan melindungi negara dari pemimpinnya sendiri.
Lembaga Pengawas yang Lemah Memperluas Potensi Penyalahgunaan
Parlemen, lembaga audit, pengadilan, dan masyarakat sipil seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan. Namun ketika lembaga-lembaga ini dilemahkan oleh kebijakan internal, tekanan finansial, atau kooptasi kekuasaan, batas kekuasaan pemimpin tidak lagi kokoh. Tanpa pengawas independen, kekuasaan akan berkembang tanpa kontrol dan itu adalah ancaman nyata bagi demokrasi. Pengawasan yang lemah membuat kekuasaan semakin berbahaya.
Dalam demokrasi, rakyat adalah pihak yang paling berhak menjaga batas kekuasaan pemimpin. Mereka menentukan siapa yang memimpin, mereka mengawasi jalannya pemerintahan, dan mereka yang menanggung risiko ketika kekuasaan melampaui batas. Namun rakyat hanya bisa menjalankan peran ini jika memiliki informasi yang benar, ruang partisipasi yang terbuka, dan perlindungan untuk bersuara. Demokrasi runtuh bukan saat pemimpin berbuat salah, tetapi saat rakyat kehilangan suara.
Solusi: Menegakkan Batas Kewenangan melalui Sistem yang Transparan dan Partisipatif
Untuk memastikan kekuasaan pemimpin tetap dalam koridor demokrasi, negara harus memperkuat mekanisme pembatasan secara menyeluruh. Pertama, transparansi dalam pengambilan keputusan harus ditingkatkan agar publik dapat menilai kebijakan secara objektif, bukan berdasarkan retorika. Kedua, lembaga pengawas harus diperkuat secara hukum dan anggaran agar mampu menjalankan fungsi kontrol tanpa ketergantungan pada kekuasaan eksekutif.
Ketiga, proses legislasi dan regulasi perlu dibuka bagi partisipasi publik sebagai bentuk koreksi terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan. Keempat, pendidikan kewarganegaraan harus ditingkatkan untuk membangun kesadaran rakyat bahwa mengawasi pemimpin adalah bagian dari menjaga negara. Kelima, media dan masyarakat sipil harus dilindungi agar dapat menjalankan fungsi kritik tanpa intimidasi.
Dengan sistem yang transparan, publik yang sadar, dan lembaga pengawas yang kuat, kekuasaan dapat berjalan sesuai batasnya dan demokrasi tetap terjaga.
Kesimpulan: Demokrasi Tidak Bisa Hidup Tanpa Batas Kekuasaan
Pemimpin boleh berganti, tetapi batas kekuasaan harus tetap. Negara hanya dapat bertahan jika pemimpin menghormati aturan, transparansi dijaga, dan rakyat tetap menjadi pusat dari seluruh pengambilan keputusan.
Menegakkan batas kekuasaan bukan upaya melemahkan pemimpin tetapi cara terbaik memperkuat negara dan menjaga demokrasi tetap hidup.



