Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Tokoh politik senior sekaligus Ketua Majelis Syura Partai Ummat, Amien Rais, kembali mengguncang ruang publik lewat pernyataan kerasnya. Dalam video yang diunggah di kanal YouTube Amien Rais Official pada 29 Oktober 2025, ia menuding Joko Widodo, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Sri Mulyani sebagai “tiga manusia perusak Indonesia.” Tak berhenti di situ, ia menuntut agar Jokowi dijatuhi hukuman berat atas apa yang disebutnya sebagai kehancuran bangsa selama sepuluh tahun terakhir.
Namun, kemarahan Amien kali ini terasa seperti amarah seseorang terhadap bayangannya sendiri. Karena jika kita menelusuri akar kerusakan sistemik negara ini, maka salah satu batu loncatan terbesarnya justru dibangun ketika Amien Rais menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tepatnya saat ia memimpin amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Amandemen yang Menceraikan Rakyat dari Kedaulatan
Sebelum amandemen itu, bunyi asli Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 adalah:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Namun, di bawah kepemimpinan Amien Rais, pasal itu diubah menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Perubahan satu kalimat ini tampak sederhana, tetapi mengandung konsekuensi fatal:
rakyat memang “memiliki” kedaulatan, tetapi tidak lagi menjalankannya secara langsung melalui MPR.
Dengan kata lain, rakyat hanya memegang sertifikat rumahnya, tapi kuncinya diserahkan ke lembaga eksekutif dan oligarki politik.
Dalam analogi rumah tangga:
- Rakyat adalah Istri — pemilik rumah dan sumber kehidupan.
- MPR adalah Suami — kepala rumah tangga yang menjaga, menata, dan memimpin arah keluarga (negara).
- Presiden hanyalah Asisten Rumah Tangga — pelayan yang dipekerjakan untuk mengurus pekerjaan sehari-hari.
Namun, ketika Amien Rais mengubah pasal itu, seolah Suami (MPR) menceraikan Istri (Rakyat) dan justru menikahi Asisten Rumah Tangga (Presiden).
Sejak saat itulah, rumah bernama Republik Indonesia kehilangan keseimbangannya.
Kepala negara dan kepala pemerintahan melebur, lembaga negara dan lembaga pemerintah tak lagi dibedakan.
Dan di ruang kosong itulah, oligarki tumbuh, melahirkan sistem yang kini justru dimarahi oleh Amien sendiri.
Jokowi, Luhut, dan Sri Mulyani: Anak dari Sistem yang Ia Ciptakan
Jika kini Amien menuduh Jokowi–Luhut–Sri Mulyani sebagai perusak negara, maka sejatinya mereka hanya berjalan di jalan yang ia aspal sendiri dua dekade lalu.
Amandemen yang memisahkan rakyat dari kedaulatan membuka ruang:
- Bagi Presiden untuk menguasai lembaga keuangan dan birokrasi tanpa kontrol MPR,
- Bagi elite ekonomi untuk menembus kebijakan negara lewat pintu eksekutif,
- Bagi oligarki untuk menguasai aset publik dengan dalih “pembangunan nasional.”
Mereka bukan penyimpang; mereka produk sah dari rancangan tata negara yang cacat dari lahir.
Cak Nun dan Luka Reformasi
Budayawan Cak Nun pernah mengkritik keras arah amandemen ini:
“Untuk keperluan pasar global, UUD 45 silakan diamandemen. Harga negara kita fleksibel kok. Mau saya payungi? Wani piro?”
Sarkasme ini bukan tanpa dasar.
Amandemen yang digawangi Amien telah membuka pintu “pasar konstitusi”, di mana kepentingan ekonomi global bisa masuk melalui klausul hukum yang lentur.
Tak heran, reformasi yang dulu dijanjikan sebagai jalan pembebasan justru berubah menjadi jalan tol kapitalisme politik.
Cak Nun bahkan pernah mengisahkan perselisihannya dengan Amien Rais terkait dukungan terhadap Prabowo Subianto.
Menurutnya, ia sempat bertengkar dengan Amien karena membawa Prabowo, yang saat itu dituduh sebagai penculik, ke rumahnya di Yogyakarta.
Kini, dua dekade kemudian, Prabowo menjadi Presiden, sementara Amien kembali berteriak marah.
Ironi sejarah ini terasa sempurna: orang-orang yang dulu menyiapkan panggung, kini menolak naskah yang mereka tulis sendiri.
Negara yang Lupa Siapa Majikannya
Amien Rais lupa bahwa dalam republik, pemerintah hanyalah pelayan publik, bukan pemilik negara.
Kekayaan alam, pajak, dan sumber daya bangsa adalah milik rakyat, sang majikan sejati.
Namun, sejak kedaulatan rakyat tidak lagi “dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, rakyat kehilangan kendali atas rumahnya sendiri.
MPR bukan lagi “suami” yang menjaga keluarga, melainkan penonton di teras rumah yang hanya bisa mengomentari pelayan yang sedang bekerja.
Jadi, ketika hari ini Amien mengamuk dan menyalahkan tiga tokoh utama rezim sebelumnya, sesungguhnya ia sedang marah pada bayangan sejarahnya sendiri.
Karena jalan yang kini ia kutuk, dulunya ia yang menandatanganinya.
Penutup
Sejarah bangsa ini sering kali seperti panggung sandiwara.
Tokoh-tokohnya berganti, tetapi naskahnya tetap sama:
para pelayan publik lupa siapa majikan mereka,
dan rakyat hanya bisa menonton dari balik jendela rumah yang dulu mereka bangun sendiri.
Jokowi, Luhut, dan Sri Mulyani mungkin memerankan babak yang keras,
tapi jangan lupa — sutradara pertama yang menulis naskahnya bernama Amien Rais.



