beritax.id — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa status empat pulau sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara belum bisa dipastikan karena tidak disebut dalam Undang-Undang pembentukan Provinsi Aceh tahun 1956.
Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang. Yusril menyebut, batas wilayah kabupaten dan provinsi baru ditentukan setelah era reformasi, dan sejauh ini belum ada keputusan final dari pemerintah pusat.
Namun di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Dimana yang memberikan kode administrasi empat pulau tersebut berdasarkan usulan Pemerintah Sumatera Utara.
Langkah ini menuai reaksi dari berbagai pihak karena dianggap menyusupkan keputusan tanpa persetujuan resmi antara provinsi. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menyinggung bahwa perjanjian Helsinki 2005. Serta UU Nomor 24 Tahun 1956 telah mengatur batas wilayah Aceh, termasuk empat pulau tersebut.
Partai X: Pemerintah Tak Bisa Berlindung di Balik Ketidakjelasan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, menyesalkan sikap pemerintah yang justru membiarkan kebingungan hukum ini terjadi. Menurutnya, jika belum ada dasar hukum final, seharusnya tidak ada proses administratif apa pun, apalagi sampai penetapan kode pulau.
“Kalau belum jelas batasnya, kenapa sudah dikodekan diam-diam? Ini seperti menandai wilayah yang belum diputuskan,” kata Prayogi.
Ia menambahkan, langkah tersebut bisa memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Dalam urusan kedaerahan yang sensitif seperti ini, keterbukaan dan partisipasi rakyat adalah hal yang tidak bisa ditawar.
Tugas Negara Adalah Melindungi, Melayani, dan Mengatur Rakyat
Partai X menekankan bahwa tugas negara bukan menambah luka lama rakyat Aceh.
Pemerintah seharusnya menjaga ketenangan sosial dan keutuhan kebangsaan, bukan menambah ketegangan lewat keputusan administratif yang tidak transparan.
“Kami mengingatkan, tugas pemerintah itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau ketiganya tak dijalankan, maka negara kehilangan makna,” ujar Prayogi.
Partai X menilai bahwa ketiadaan Permendagri bukan alasan untuk memaksakan legitimasi administratif terhadap wilayah yang disengketakan. Pengkodean wilayah tidak boleh menjadi celah legalisasi sepihak yang kelak akan menutup ruang dialog.
“Wilayah bukan soal garis di peta, tapi soal identitas, sejarah, dan keterikatan masyarakat terhadap tanahnya,” tegas Prayogi.
Solusi Partai X: Keadilan Wilayah Mengenai Pulau, Bukan Sekadar Peta dan Kode
Untuk menyelesaikan konflik ini secara adil dan menyeluruh, Partai X menawarkan solusi sebagai berikut:
- Pembentukan Forum Musyawarah Perbatasan Wilayah
Libatkan perwakilan masyarakat, adat, tokoh agama, dan akademisi dari Aceh dan Sumut. - Audit Partisipatif atas Dasar-Dasar Batas Wilayah Sejak 1956
Lakukan penelusuran data administratif, sejarah kolonial, dan tapal batas adat secara terbuka dan terdokumentasi. - Moratorium Penetapan Administrasi hingga Ada Kesepakatan Final
Pemerintah pusat diminta menghentikan seluruh proses administratif hingga ada permufakatan resmi dua daerah dan Permendagri. - Deklarasi Nasional Penjagaan Daerah Perbatasan Berbasis Dialog Kultural
Partai X akan mendorong model penyelesaian batas wilayah berbasis Sekolah Negarawan dan diplomasi lokal. - Revisi UU Pemerintahan Daerah Berbasis Partisipasi dan Keadilan Wilayah
Amandemen UU harus membuka ruang musyawarah lokal sebagai dasar keadilan dalam pembentukan wilayah.
Partai X meminta pemerintah tidak menjadikan empat pulau ini sekadar perdebatan administratif. Sebab, setiap wilayah punya sejarah, dan setiap keputusan punya dampak terhadap rasa keadilan rakyat.
“Negara bukan hanya bicara hukum, tapi juga bicara hati rakyat. Jangan ulangi luka sejarah dengan tindakan yang tergesa dan tertutup,” pungkas Prayogi.