beritax.id – Indonesia menyebut dirinya negara demokrasi, sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks besar: rakyat berdaulat, tetapi tidak berkuasa. Sementara itu, mereka yang dipilih untuk mewakili justru semakin jauh dan semakin abai terhadap aspirasi publik.
Demokrasi Indonesia berada dalam anomali ketika wakil yang tidak menjalankan amanah tidak bisa dikoreksi, sementara rakyat yang kecewa tidak memiliki instrumen untuk memperbaiki keadaan.
Rakyat Mewakilkan Suara, Namun Suaranya Tidak Lagi Diwakili
Kekecewaan publik terus menguat karena banyak kebijakan publik lahir tanpa mendengar rakyat. Undang-undang disusun tanpa konsultasi, perubahan regulasi muncul tiba-tiba, dan keputusan penting diambil tanpa transparansi. Wakil rakyat seolah hidup dalam ruang pemerintahan yang kedap suara mengabaikan keluhan dan penderitaan publik yang semakin keras digaungkan.
Wakil abai bukan hanya persoalan kinerja, tetapi persoalan legitimasi moral. Jika wakil tidak lagi memperjuangkan suara rakyat, untuk siapa mereka bekerja?
Masalah Demokrasi Muncul Ketika Akuntabilitas Tidak Berjalan
Akuntabilitas adalah fondasi setiap demokrasi. Tanpa akuntabilitas, jabatan berubah menjadi kekuasaan tanpa batas. Rakyat kehilangan kontrol, dan wakil rakyat terlepas dari tanggung jawab. Inilah yang membuat demokrasi Indonesia sering terasa pincang: wakil tidak mau mendengar, dan rakyat tidak bisa memaksa mereka untuk peduli.
Di sinilah anomali itu lahir wakil lupa, rakyat tak berdaya, sistem tetap berjalan seolah tidak ada masalah. Padahal, masalahnya sangat besar.
Rakyat Hanya Menjadi Penonton dalam Keputusan
Ketika rakyat tidak memiliki instrumen untuk mengoreksi wakil, mereka hanya menjadi penonton dalam drama nasional. Mereka melihat, menanggung dampaknya, tetapi tidak dapat memengaruhi arah kebijakan. Demokrasi yang seharusnya partisipatif berubah menjadi sekadar prosedur lima tahunan.
Pemilu menjadi ritual, bukan mekanisme kontrol. Keterlibatan rakyat berhenti setelah tinta di jari mengering. Padahal demokrasi seharusnya berlanjut setiap hari, bukan hanya saat pemilu.
Wakil Abai karena Sistem Tidak Memaksa Mereka untuk Bertanggung Jawab
Ketika sistem tidak menyediakan mekanisme untuk mengingatkan, menegur, atau mencabut mandat, maka abainya wakil rakyat menjadi konsekuensi sistemik. Bukan hanya soal individu, tetapi soal struktur.
Wakil rakyat bisa melenceng dari agenda publik, namun kursi mereka tetap aman.
Mereka bisa mengabaikan pengawasan publik, namun posisi mereka tetap terjamin.
Ini bukan salah satu atau dua orang ini adalah desain yang keliru.
Anomali demokrasi Indonesia terjadi karena sistem tidak menempatkan rakyat pada posisi yang seharusnya.
Kedaulatan Rakyat Tergerus Karena Tidak Ada Ruang untuk Kritik Efektif
Kritik rakyat sering dianggap sebagai ancaman, bukan kontribusi. Opini publik tidak dijadikan bahan perbaikan, tetapi sering dihadapi dengan defensif. Padahal dalam demokrasi, kritik adalah instrumen paling penting untuk menjaga agar kekuasaan tidak melenceng.
Ketika kritik dianggap gangguan, maka yang rusak bukan hanya hubungan antara rakyat dan wakilnya, tetapi juga kualitas demokrasi itu sendiri.
Agar demokrasi kembali pada jalurnya, rakyat harus memegang kembali hak untuk mengoreksi wakilnya. Bukan hanya melalui suara moral, tetapi juga melalui mekanisme legal yang jelas dan dapat dijalankan. Kedaulatan rakyat tidak boleh hanya berhenti pada slogan.
Solusi: Mengakhiri Anomali Demokrasi dengan Memperkuat Kedaulatan Rakyat
Sesuai prinsip penyembuhan bangsa, beberapa langkah fundamental perlu dilakukan:
- Amandemen konstitusi untuk mempertegas hak rakyat mengawasi dan mengoreksi wakilnya. Mandat harus dapat dievaluasi dan bahkan dicabut ketika amanah diselewengkan.
- Pemisahan tegas antara negara dan pemerintah. Agar kritik publik terhadap wakil rakyat tidak dianggap sebagai serangan terhadap negara.
- Digitalisasi total proses legislasi dan pengawasan. Rakyat harus bisa menilai dan mengikuti setiap langkah wakilnya secara transparan.
- Musyawarah Kenegarawanan Nasional. Untuk merumuskan ulang relasi antara rakyat, wakil rakyat, dan arah kebijakan publik.
- Reformasi hukum berbasis kepakaran. Agar peraturan yang dihasilkan DPR tidak menjadi instrumen kekuasaan, tetapi instrumen keadilan.
- Pendidikan dan moral publik. Karena rakyat yang kuat melahirkan wakil yang lebih bertanggung jawab.
Wakil rakyat yang abai adalah gejala. Rakyat yang tidak berdaya adalah luka. Dan demokrasi yang tidak memberikan ruang koreksi adalah anomali.
Namun anomali ini tidak harus permanen. Demokrasi Indonesia dapat pulih jika kedaulatan rakyat dipulihkan. Jika wakil rakyat kembali sadar diri sebagai pelayan, bukan penguasa. Dan jika rakyat kembali memiliki alat untuk memastikan amanah tidak diselewengkan. Wakil boleh abai, tapi rakyat tidak boleh lagi tak berdaya. Karena negara hanya kuat jika rakyat kembali berkuasa atas apa yang memang menjadi miliknya kedaulatan.



