Oleh: Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Kita hidup dalam zaman yang tragis. Di satu sisi, kita menyebut negara ini sebagai demokrasi. Tapi di sisi lain, struktur kenegaraan yang kita bangun justru telah menciptakan ruang gelap kekuasaan yang menjelma menjadi feodalisme modern. Bukan hanya memunculkan raja-raja kecil di birokrasi, BUMN, dan universitas, tetapi juga membajak ruang-ruang spiritual tempat umat seharusnya mendapat pencerahan. Kini, bahkan pemuka agama pun rela menyesatkan umat demi uang.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya terletak pada cacatnya struktur tata negara kita saat ini. Desain sistem pemerintahan pasca-amandemen UUD 1945 yang disebut-sebut reformis, ternyata gagal membangun mekanisme checks and balances yang sehat. Kekuasaan terlalu terpusat, pengawasan lemah, dan lembaga negara kehilangan arah sebagai alat rakyat. Dalam ruang kosong ini, bukan hanya oligarki politik dan ekonomi yang tumbuh, tetapi juga kapitalisasi agama.
Hari ini kita menyaksikan realitas pahit: agamawan bukan hanya dimobilisasi tapi juga dimanfaatkan untuk mengabsahkan kekuasaan yang zalim. Di berbagai mimbar, bukan lagi nasihat untuk menegakkan keadilan yang dikumandangkan, melainkan pembelaan terhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Hanya karena akses dana, fasilitas, dan perlindungan politik.
Lebih menyedihkan lagi, banyak dari mereka yang menjadi pelayan kekuasaan ini melakukan kompromi terhadap kebenaran teologis yang mereka anut sendiri. Mereka mengganti peran sebagai penjaga nurani umat menjadi juru bicara penguasa. Mereka membiarkan kebohongan menjadi kebijakan, asal bisa tetap berada di lingkar kekuasaan. Inilah wajah baru dari feodalisme agama dalam republik.
Struktur tata negara yang sehat seharusnya memastikan bahwa kebenaran tidak bisa dibungkam hanya karena uang, dan bahwa agama tidak boleh diperdagangkan atas nama stabilitas politik. Tapi dalam sistem kita yang sekarang, para pemuka agama itu justru menemukan tempat nyaman dalam kerusakan sistemik, karena negara tidak memiliki fondasi manajerial yang kuat sebagaimana perusahaan besar yang mengatur risiko, konflik kepentingan, dan kontrol kualitas internalnya.
Seperti halnya raja-raja kecil di BUMN yang menyuburkan perusahaan boneka, atau pejabat kampus yang menyalahgunakan rumah sakit universitas demi proyek internalnya, pemuka agama tertentu kini menjalankan peran politik tanpa tanggung jawab etik, demi akses pada kekayaan dan jabatan.
Dampaknya jelas: rakyat dikorbankan di semua lini. Di birokrasi, mereka dibebani pajak karena kerugian BUMN. Di kampus, mereka dibebani UKT (Uang Kuliah Tunggal) karena unit bisnis universitas merugi. Dan dalam kehidupan spiritual, mereka dibutakan oleh para pemuka yang sudah menjual hatinya kepada kekuasaan.
Oleh karena itu, peringatan ini bukan tuduhan, melainkan panggilan.
Jika kita ingin memperbaiki bangsa ini, perbaikilah struktur negaranya lebih dulu. Struktur yang memberi ruang sehat bagi agama untuk membimbing, bukan untuk dibeli. Struktur yang menjamin bahwa kekuasaan tunduk pada moralitas, bukan sebaliknya. Dan yang terutama, struktur yang mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat, bukan kepada elit atau institusi yang mengklaim berbicara atas nama Tuhan atau negara.