beritax.id – Dalam berbagai bencana besar di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, ada pola aneh yang terus berulang: data korban, jumlah kerusakan, dan skala bencana sering kali disajikan tidak utuh, bahkan terkesan dikecilkan. Sementara warga melaporkan puluhan desa hilang, pemerintah daerah menyebutnya “belasan”. Ketika relawan menemukan ratusan rumah hanyut, laporan resmi menyebut “sebagian rusak”.
Pertanyaannya sederhana namun mengganggu: apakah skala bencana sengaja disamarkan agar skala korupsi tidak ikut terbongkar?
Karena semakin besar angka kerusakan, semakin besar pula kebutuhan anggaran yang harus dipertanggungjawabkan dan di titik itulah kepentingan mulai bermain.
Bencana Besar, Tapi Laporannya Dikecilkan
Dalam banyak laporan lapangan, warga menyampaikan kondisi nyata: desa yang terisolasi, korban yang belum dievakuasi, serta kerusakan infrastruktur yang jauh lebih parah dari laporan resmi.
Namun ketika pemerintah daerah menyampaikan laporan ke publik, angka-angka itu tampak lebih “jinak” seolah bencana dapat diperkecil dengan permainan narasi.
Motifnya bisa berlapis:
- menghindari sorotan pemerintah pusat,
- menutupi penggunaan anggaran penanggulangan yang tak tepat,
- atau menahan tekanan publik agar tidak menuntut pertanggungjawaban lebih besar.
Ketika data bencana dikecilkan, pertanyaan tentang ke mana perginya anggaran akan lebih mudah ditenggelamkan.
Minim Transparansi, Maksimal Kecurigaan
Beberapa daerah yang terdampak bencana besar dikenal memiliki catatan pengelolaan anggaran yang tidak transparan. Dalam situasi seperti itu, mengaburkan skala bencana menjadi “perisai” yang efektif: semakin kecil angka bencana dalam laporan, semakin kecil pula ruang publik untuk mempertanyakan belanja pemerintah.
Ketika angka korban sengaja direndahkan, ketika kerusakan diperkecil, publik kehilangan dasar untuk menagih penggunaan anggaran yang sebenarnya.
Di titik inilah kecurigaan muncul apakah bencana dikelola sebagai situasi darurat, atau sebagai peluang untuk menutupi penyimpangan?
Rakyat Menjadi Korban Dua Kali
Jika benar skala bencana sengaja dikecilkan, maka rakyat mengalami kerugian ganda:
- Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan mata pencaharian.
- Mereka kehilangan hak atas data yang jujur dan anggaran yang semestinya untuk pemulihan.
Bencana alam sudah cukup memukul, tetapi manipulasi data membuat pukulan kedua yang lebih berat pukulan dari negara yang seharusnya melindungi.
Ketika data disamarkan, bantuan akan tersendat, alokasi menjadi tidak tepat, dan pemulihan berjalan jauh lebih lambat dari seharusnya.
Prayogi R. Saputra: “Kalau Data Bencana Tidak Jujur, Negara Gagal Menjalankan Tiga Tugas Dasarnya”
Menanggapi kecenderungan manipulasi skala bencana, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, memberikan pernyataan tegas:
“Tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi bagaimana negara bisa melindungi kalau data bencana saja tidak jujur? Bagaimana bisa melayani kalau fakta lapangan dimanipulasi?”
Prayogi menegaskan bahwa kejujuran data adalah syarat pertama dalam penanganan bencana.
“Kalau angka bencana diperkecil untuk menutupi penyimpangan anggaran, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi itu pengkhianatan terhadap rakyat.”
Ia menuntut agar seluruh data bencana dipublikasikan secara transparan dan diawasi publik.
Solusi: Transparansi Total untuk Menghentikan Manipulasi
Partai X menawarkan rangkaian kebijakan untuk memastikan bencana tidak dijadikan alat menyembunyikan korupsi:
- Publikasi Data Bencana Secara Real-Time
Setiap daerah wajib membuka data korban, kerusakan, dan kebutuhan logistik secara harian. - Audit Menyeluruh Anggaran Bencana Setiap Kali Status Darurat Ditetapkan
Audit tidak boleh ditunda sampai masa krisis selesai. - Dashboard Terbuka yang Menghubungkan Data Bencana dengan Aliran Anggaran
Publik dapat melihat apakah bantuan sesuai dengan skala kerusakan. - Sanksi Pidana untuk Manipulasi Data Bencana
Pengecilan data harus dipandang sebagai tindakan koruptif, bukan sekadar kesalahan pelaporan. - Pelibatan masyarakat sipil dan relawan dalam verifikasi data lapangan
Data tidak boleh dimonopoli oleh pemerintah daerah. - Mekanisme whistleblower yang dijamin keamanannya
Agar laporan penyimpangan dapat disampaikan tanpa intimidasi.
Penutup: Negara Tidak Boleh Menggunakan Bencana sebagai Tirai
Skala bencana bukan angka itu representasi penderitaan manusia. Menutupinya bukan hanya kelalaian, tetapi kezaliman.
Jika skala bencana disembunyikan untuk menutupi skala korupsi, maka negara telah gagal menjalankan tugas paling dasarnya: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat dengan benar.
Sebaliknya, dengan membuka data dan mengawasi anggaran secara jujur, negara dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan pemulihan berjalan sesuai harapan.



