Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute.
beritax.id – Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali memantik sorotan publik. Dukungan deras mengalir kepada Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa yang berani menyuarakan isu ini di berbagai platform. Ribuan komentar netizen membanjiri kanal YouTube, menyuarakan harapan agar kebenaran segera terungkap melalui pengadilan dan audit forensik.
Isu ini seharusnya bukan hanya menyasar personal Jokowi, melainkan menyoroti akar persoalan mengenai penguasa partai politik. Sejak amandemen UUD 1945, tepatnya Pasal 6A ayat 2, rakyat tidak lagi benar-benar bebas mencalonkan pemimpin langsung. Semua calon presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, partai politik menjadi gerbang utama yang menyodorkan figur kepada rakyat, termasuk “asisten rumah tangga” bernama presiden.
Pemerintah Adalah Pelayan Rakyat
Cak Nun dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa pemerintah sejatinya adalah pelayan rakyat, sebagaimana asisten rumah tangga dalam keluarga. Partai politik adalah agen yang memilih dan memasarkan sang asisten rumah tangga itu. Jika kemudian publik mempertanyakan keaslian ijazah “asisten”, maka agenlah (partai politik) yang pertama kali harus dimintai tanggung jawab.
Namun faktanya, ketika muncul persoalan serius seperti dugaan ijazah palsu, penguasa partai justru bersembunyi. Mereka membiarkan rakyat yang sibuk menggali data, menuntut bukti, dan berdebat di ruang publik. Bukankah seharusnya partai politik yang paling dulu melakukan verifikasi ketat sebelum mencalonkan seseorang untuk menduduki kursi tertinggi republik?
Lebih ironis lagi, Cak Nun menilai penguasa partai politik gagal memahami esensi kebangsaan. “Wong berpikirnya mereka masih ‘bangsa untukmu’, bukan ‘kamu untuk bangsa’,” tegasnya. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi kegagalan moral dan logika bernegara. Penguasa lebih sibuk menjaga citra dan kekuasaan daripada memastikan rakyat benar-benar dilayani oleh pemimpin yang kredibel dan sah.
Kasus ijazah palsu ini bukan hanya memalukan, tetapi juga menelanjangi rapuhnya sistem demokrasi kita. Jika rakyat harus menanggung beban pembuktian, sementara penguasa bersembunyi di balik kekebalan kekuasaan, maka “kedaulatan di tangan rakyat” hanyalah slogan kosong.
Saatnya rakyat mendesak agar penguasa partai politik tidak hanya diperiksa secara moral, tetapi juga secara hukum. Karena merekalah yang telah mengunci pintu pencalonan, merekalah yang harus bertanggung jawab jika ternyata figur yang mereka sodorkan cacat legitimasi.
Kasus ini menjadi momentum refleksi besar memperbaiki sistem pencalonan, meninjau ulang peran partai politik, dan mengembalikan kedaulatan penuh ke tangan rakyat. Seperti kata Cak Nun, “Bangsa ini perlu revolusi luar biasa, bukan sekadar ganti orang, tapi ganti cara berpikir.”