beritax.id – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyatakan revisi sistem pemilu perlu mempertimbangkan kepentingan nasional dan kondisi global. Dalam diskusi daring bersama Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Bima menyebut demokrasi bisa menjadi penghambat target Indonesia Emas. Ia menekankan pentingnya “racikan kekuasaan” baru, termasuk potensi ketidakcocokan antara pemerintah pusat dan daerah pasca pemisahan pemilu.
Rakyat Tak Butuh Racikan Kekuasaan
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R Saputra, menilai pernyataan itu sebagai bentuk manipulasi kekuasaan terselubung. Ia menegaskan, negara tak boleh menyusun ulang demokrasi hanya demi mengejar target ekonomi. Pemerintah justru harus menguatkan kedaulatan rakyat, bukan memanfaatkan demokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
Prayogi mengingatkan, tugas negara bukan meracik sistem demi kenyamanan pejabat. Tugas negara adalah tiga yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat secara adil. Ketika pemilu hendak diubah demi stabilitas versi penguasa, rakyat hanya akan menjadi korban demokrasi kosmetik yang timpang dan manipulatif.
Bagi Partai X, politik adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui tata kelola yang efektif, efisien, dan transparan. Revisi sistem pemilu hanya sah bila dimaksudkan untuk memperkuat suara rakyat, bukan mempermudah kelanggengan kekuasaan pejabat yang berkuasa.
Solusi Partai X: Pemilu sebagai Sarana Kedaulatan, Bukan Sekadar Prosedur
Partai X mendorong evaluasi pemilu berbasis partisipasi publik, bukan manipulasi pejabat. Revisi harus menjamin representasi yang adil di setiap lapisan masyarakat. Sistem pemilu mesti menjawab kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan investasi atau akomodasi kekuasaan. Kedaulatan rakyat tak boleh dikorbankan atas nama “efisiensi kekuasaan”.
Partai X menolak segala bentuk revisi sistem pemilu yang tidak diawali dengan konsultasi rakyat luas. Jika pemerintah memaksakan revisi demi target pejabat, maka Indonesia bukan menuju Indonesia Emas, melainkan demokrasi semu. Reformasi tak boleh dikembalikan menjadi alat otoritarianisme yang dibungkus jargon pembangunan.