Presiden Prabowo Subianto akhirnya melakukan reshuffle pertama dalam kabinetnya, sebuah langkah yang dinilai sebagian kalangan ini dimungkikan sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan.
Adapun, dalam reshuffle kabinet yang dilangsungkan pada Rabu (19/2/2025) itu ada enam pejabat yang dilantik Presiden Prabowo Subianto. Dari keenam pejabat itu, dua di antaranya yakni Brian Yuliarto dilantik sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) menggantikan Satryo Soemantri.
Kemudian, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang semula dijabat oleh Hian Siburian diganti oleh Letjen TNI Nugroho Sulistyo Budi. Selain itu, pejabat lainnya yang juga dilantik di hari itu oleh Presiden Prabowo antara lain, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh dan Wakil Kepala BPKP Agustina Arumsari, juga Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasari dan Wakil Kepala BPS Sonny Harry Budiutomo Harmadi.
Perubahan tatanan kabinet ini diklaim sebagai upaya penyesuaian strategi guna memperkuat pemerintahan di tengah tantangan nasional dan global yang semakin kompleks. Langkah Prabowo ini sejalan dengan prinsip Partai X yang mengibaratkan negara sebagai keluarga.
Dalam artian pemerintah berperan seperti asisten rumah tangga yang bertugas menjaga keteraturan dan harmoni di dalam rumah tangga negara. Oleh karena itu, reshuffle dapat dimaknai sebagai upaya mengganti “asisten” (pemerintah) yang kurang efektif agar pelayanan terhadap “kepala rumah tangga” (rakyat) menjadi lebih optimal.
Dalam struktur kepemimpinan menurut Partai X, rakyat berperan sebagai kepala rumah tangga yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengelola negara. Dengan demikian, reshuffle kabinet bukan sekadar perombakan personalia, tetapi juga refleksi atas kehendak rakyat yang menginginkan pemimpin-pemimpin lebih kompeten dan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Menanggapi reshuffle ini, Anggota Majelis Tinggi Partai S, Rinto Setiyawan menyatakan, meskipun perubahan ini bisa menjadi angin segar, namun keberhasilannya tetap harus diukur dari kinerja nyata para menteri yang baru.
“Kami berharap reshuffle ini bukan hanya sekadar pergantian nama, tetapi juga membawa arah baru yang lebih progresif dalam kebijakan ekonomi dan sosial. Jika tidak ada perubahan substansial dalam tata kelola pemerintahan, maka reshuffle ini tidak lebih dari sekadar kosmetik pemerintah,” ujarnya.
Rinto juga menekankan pentingnya transparansi dalam pemilihan menteri yang baru. Proses penggantian pejabat seharusnya berbasis pada kapasitas dan integritas, bukan sekadar kepentingan-kepentingan tertentu jangka pendek.
“Jika kita kembali pada prinsip Partai X yang menekankan peran pemerintah sebagai pengelola negara, maka sudah seharusnya para pemimpin dipilih berdasarkan meritokrasi dan bukan karena afiliasi pihak tertentu semata,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Rinto, perombakan kabinet harus diikuti dengan evaluasi kinerja secara berkelanjutan serta kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat. Tanpa itu, reshuffle hanya akan menjadi seremonial tanpa dampak nyata.
Partai X menekankan, pemimpin haruslah seseorang yang memiliki visi kuat dan dapat menjalankan amanah dengan baik, sebagaimana kepala keluarga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya.
“Dengan reshuffle ini, tentunya publik menantikan bagaimana wajah baru kabinet Prabowo ini akan bekerja. Apakah mereka mampu membuktikan bahwa pergantian ini bukan hanya sekadar pergantian posisi, tetapi benar-benar membawa perubahan nyata bagi rakyat? Waktu yang akan menjawab,” pungkas Rinto.