beritax.id – Wacana presiden seumur hidup kembali mencuat di ruang publik dan menimbulkan kegelisahan luas di tengah masyarakat. Di saat rakyat masih bergulat dengan persoalan ekonomi, bencana, dan ketimpangan sosial, muncul gagasan yang justru mengarah pada pengabadian kekuasaan. Alih-alih memperkuat demokrasi, wacana ini memunculkan pertanyaan besar: untuk siapa negara ini dijalankan?
Gagasan kekuasaan tanpa batas bukan hanya persoalan, tetapi ancaman serius terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Wacana Kekuasaan Abadi dan Ingatan Sejarah Bangsa
Indonesia memiliki pengalaman historis yang pahit dengan kekuasaan yang terlalu lama bercokol. Reformasi 1998 lahir dari kesadaran kolektif bahwa kekuasaan harus dibatasi agar tidak menyimpang.
Munculnya kembali wacana presiden seumur hidup menunjukkan lemahnya refleksi sejarah dan kecenderungan sebagian pejabat untuk memprioritaskan stabilitas kekuasaan di atas pembelajaran demokrasi.
Demokrasi Dipersempit atas Nama Stabilitas
Pendukung gagasan kekuasaan jangka panjang kerap menggunakan narasi stabilitas nasional dan kesinambungan pembangunan. Namun, stabilitas yang dibangun tanpa mekanisme kontrol rakyat justru berpotensi melahirkan otoritarianisme.
Ketika pemilu dianggap sebagai gangguan dan regenerasi kepemimpinan dipandang sebagai ancaman, maka demokrasi sedang direduksi menjadi sekadar formalitas.
Presiden seumur hidup berarti konsentrasi kekuasaan pada satu figur dalam waktu yang tidak terbatas. Situasi ini berisiko melemahkan lembaga pengawas, menumpulkan kritik, dan memperbesar peluang penyalahgunaan wewenang.
Tanpa batasan masa jabatan, akuntabilitas kehilangan makna, dan rakyat kehilangan alat paling mendasar untuk melakukan koreksi.
Tanggapan Partai X: Negara Bukan Milik Penguasa
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa gagasan presiden seumur hidup bertentangan langsung dengan mandat dasar negara.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Semua itu hanya bisa berjalan jika kekuasaan tunduk pada rakyat, bukan sebaliknya. Kekuasaan yang menolak pensiun adalah kekuasaan yang lupa bahwa legitimasi berasal dari warga negara,” ujar Prayogi.
Ia menekankan bahwa pemimpin adalah pelayan publik, bukan pemilik negara.
Ketika wacana presiden seumur hidup terus diulang tanpa koreksi tegas, publik berisiko menganggapnya sebagai hal yang wajar. Normalisasi inilah yang berbahaya, karena perlahan mengikis kesadaran bahwa pembatasan kekuasaan adalah fondasi demokrasi.
Demokrasi tidak runtuh secara tiba-tiba, tetapi melemah sedikit demi sedikit melalui pembenaran-pembenaran.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat, Partai X mendorong langkah-langkah berikut:
- Penegasan Batas Masa Jabatan sebagai Prinsip Mutlak
Pembatasan kekuasaan harus dijaga sebagai pagar demokrasi, bukan dinegosiasikan. - Penguatan Pendidikan Publik
Negara wajib memastikan rakyat memahami hak dan bahaya kekuasaan tanpa batas. - Penolakan Terbuka terhadap Wacana Otoritarian
Pemerintah dan lembaga negara harus secara tegas menghentikan narasi kekuasaan abadi. - Penguatan Lembaga Pengawas dan Kebebasan Sipil
Kritik, pers, dan masyarakat sipil harus dilindungi sebagai alat kontrol kekuasaan. - Pemulihan Orientasi Kekuasaan sebagai Amanah
Jabatan publik harus dipahami sebagai tugas sementara untuk melayani rakyat, bukan sebagai hak permanen.
Partai X menegaskan, negara yang sehat bukanlah negara dengan pemimpin seumur hidup, melainkan negara yang mampu memastikan pergantian kekuasaan berjalan adil, damai, dan demokratis. Ketika kekuasaan menolak pensiun, yang terancam bukan hanya demokrasi, tetapi masa depan republik itu sendiri.



