beritax.id – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung resmi menetapkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen untuk kendaraan pribadi dan 2 persen untuk kendaraan umum. Kebijakan ini menjadi tindak lanjut dari kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sebelumnya, tarif PBBKB mencapai 10 persen dan telah diberlakukan lebih dari satu dekade melalui ketentuan Pertamina.
Langkah relaksasi ini menurut Pramono akan dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Ia mengklaim bahwa perubahan ini tidak akan terasa langsung di SPBU. Hal tersebut kecuali oleh warga Jakarta yang selama ini terkena tarif penuh. Namun pernyataan Pramono sempat membingungkan publik, setelah sebelumnya ia menyatakan tidak tahu menahu soal kebijakan PBBKB 10 persen yang telah lebih dulu tercantum di laman Badan Pendapatan Daerah Jakarta.
Kritik Tegas Partai X
Menanggapi kebijakan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, menyampaikan sikap kritis. Penetapan pajak BBM ini contoh kebijakan publik tidak transparan dan berpotensi menjadi beban baru bagi masyarakat yang menghadapi tekanan ekonomi.
“Pemerintah tugasnya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jangan dibalik menjadi membebani rakyat,” tegas Prayogi.
Partai X mempertanyakan logika pengurangan pajak dari 10 persen menjadi 5 persen, yang seolah diklaim sebagai keringanan. Padahal sebelumnya publik bahkan tidak pernah diberi ruang diskusi atas besaran pajak tersebut.
Regulasi Tanpa Dialog: Di Mana Partisipasi Publik?
Partai X menggarisbawahi bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 memang memberi diskresi kepada kepala daerah, namun diskresi bukan berarti kebebasan mutlak tanpa konsultasi.
Dalam prinsip Partai X, pengambilan kebijakan yang menyentuh kebutuhan dasar seperti bahan bakar harus dilakukan melalui partisipasi publik yang aktif.
“Ketika pajak ditentukan tanpa konsultasi rakyat, lalu diumumkan sebagai hadiah, itu bukan demokrasi, tapi manipulasi narasi,” ungkap Prayogi.
Partai X menilai pernyataan Pramono yang sebelumnya mengaku kaget tentang tarif PBBKB 10 persen di Jakarta. Hal ini mencerminkan lemahnya kontrol dan koordinasi internal dalam pengelolaan informasi publik. Kebijakan yang memengaruhi harga BBM seharusnya dilakukan dengan kalkulasi transparan, bukan tergesa-gesa atau hanya bersandar pada justifikasi regulatif.
Partai X menegaskan bahwa rakyat tidak butuh narasi diskon, mereka butuh kepastian. Jika benar niatnya membantu masyarakat, maka seharusnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjelaskan secara detai. Adapun terkait bagaimana pengurangan tarif ini akan berdampak pada harga jual BBM. Serta bagaimana subsidi atau alokasi dana tersebut akan dikembalikan untuk kebutuhan dasar publik sepert transportasi murah, pendidikan gratis, dan pelayanan kesehatan.