Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – 1 Juli 2025, Indonesia kembali memperingati Hari Bhayangkara ke-79 dengan tema “Polri untuk Masyarakat”. Tema ini ingin menegaskan komitmen Polri agar semakin dekat, melayani, serta mengayomi masyarakat dengan profesionalisme dan sentuhan humanis. Namun, di balik gegap gempita peringatan ini, kita harus kembali merenung: Apakah Polri benar-benar sudah menjadi milik rakyat? Apakah Polri telah menjalankan tugas sebagai alat negara atau masih terperangkap menjadi alat pemerintah?
Pada 18 Juni 2017 di Polrestabes Surabaya, Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab kita sapa Cak Nun dengan tegas mengingatkan: Polisi adalah alat negara, bukan alat pemerintah. Sebuah penekanan mendalam yang jarang diungkapkan dengan lantang. Dalam tausiah saat buka puasa bersama, Cak Nun menjelaskan perbedaan fundamental antara negara dan pemerintah, dua konsep yang kerap disamakan dan membingungkan rakyat.
Tugas Mulia Polri: Melindungi Rakyat, Bukan Kekuasaan
Polri, bersama TNI, KPK, dan beberapa lembaga lainnya, merupakan lembaga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Maka, sebagai alat negara, polisi wajib melayani dan menjaga rakyat, bukan sekadar melayani pemerintah atau menjadi bawahan presiden. Cak Nun bahkan pernah menyampaikan pesan langsung kepada Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, bahwa polisi harus berpihak pada rakyat. Polisi bukan perpanjangan tangan penguasa, melainkan penyangga keadilan, pelindung masyarakat, dan benteng terakhir bagi rakyat.
Cak Nun juga memberikan analogi indah yang sangat mengena: rakyat adalah alang-alang dan rumput. Meski sering diinjak-injak, rakyat tetap tumbuh, tetap bersemi, dan tak pernah benar-benar mati. Justru di situlah letak kekuatan sejati bangsa ini, rakyat yang sabar, setia, dan tak pernah habis ditindas. Dan kekuatan polisi, kata Cak Nun, lahir dari keberpihakan dan hubungan erat dengan rakyat itu sendiri.
Realitas Menyedihkan: Polri Masih Terjebak dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Namun, dalam realitas yang kita lihat hari ini, Polri masih sering dijadikan alat kekuasaan. Penanganan hukum yang tebang pilih, kriminalisasi suara kritis. Serta perlindungan berlebihan terhadap kepentingan oligarki adalah bukti nyata bahwa sebagian aparat masih jauh dari ideal sebagai alat negara. Rakyat diposisikan sebagai ancaman, bukan sebagai pemilik kedaulatan yang harus dilindungi.
Inilah sebabnya, kita perlu Revolusi Damai dalam ketatanegaraan, untuk mengembalikan posisi rakyat sebagai sumber dan pemilik tunggal kedaulatan negara. Revolusi damai ini bukan berarti kekerasan atau pertumpahan darah, melainkan perubahan mendasar melalui gerakan kesadaran kolektif, protes damai, aksi sipil, dan penegasan kembali nilai-nilai luhur dalam konstitusi.
Belajar dari Dunia: Revolusi Damai yang Bermartabat
Kita harus meneladani berbagai contoh revolusi damai dunia, seperti Revolusi Beludru di Cekoslowakia atau Revolusi EDSA di Filipina, yang berhasil menggulingkan rezim otoriter tanpa merusak martabat kemanusiaan. Kita pun bisa memulainya dengan menduduki ruang publik secara damai, menyuarakan tuntutan, dan mendesak lembaga-lembaga negara kembali ke khitahnya mengabdi sepenuhnya pada rakyat.
Jika tidak dimulai sekarang, maka rakyat hanya akan terus menjadi alang-alang yang diinjak, dan Polri hanya akan terus menjadi perpanjangan tangan kekuasaan yang menindas, bukan yang menjaga.
Kini, momen Hari Bhayangkara ini bukan sekadar seremonial, tetapi panggilan nurani untuk seluruh insan Polri dan kita semua. Saatnya kita ingat bahwa rakyat bukan sekadar “penduduk”, melainkan ro‘iyah, pemilik kedaulatan sejati.
Mari kita jalankan revolusi damai, kembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan tegakkan kembali marwah Polri sebagai penjaga rakyat, bukan alat kekuasaan. Inilah jihad modern yang hakiki: membela kaum lemah, memperjuangkan keadilan, dan merawat nurani bangsa.