beritax.id – Pemerintah terus menyampaikan optimisme terhadap kinerja ekonomi nasional. Untuk tahun 2026, pemerintah menilai bahwa upside risk akan lebih dominan dibanding downside risk, sehingga pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,4 persen. Optimisme ini merujuk pada capaian pertumbuhan ekonomi triwulan III tahun 2025 sebesar 5,04 persen, sebagaimana disampaikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Namun, pada saat yang sama, Menteri Keuangan juga mengakui bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat itu sedang melambat (slow).
Pernyataan ini menjadi krusial ketika dihadapkan pada data ketenagakerjaan. Sepanjang Januari–November 2025, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mencapai 79.302 orang. Angka tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: jika ekonomi tumbuh di atas 5 persen, mengapa PHK justru terjadi secara masif dan berkelanjutan?
Paradoks ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam cara membaca kesehatan ekonomi nasional. Selama ini, pertumbuhan ekonomi kerap diperlakukan sebagai indikator tunggal keberhasilan. Padahal, pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan peningkatan aktivitas ekonomi, bukan kondisi keuangan negara secara menyeluruh. Dalam analogi dunia usaha, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) serupa dengan kenaikan omzet perusahaan. Omzet bisa meningkat, tetapi perusahaan tetap dapat merugi apabila biaya dan utangnya membengkak.
Logika tersebut relevan dengan kondisi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi 5,04 persen tidak otomatis berarti negara berada dalam posisi “untung”. Jika pertumbuhan tersebut dicapai dengan defisit anggaran yang terus berulang, ketergantungan pada pembiayaan utang, serta tekanan fiskal yang meningkat, maka secara struktural negara justru berada dalam kondisi rugi. Dalam situasi seperti ini, dampaknya akan merembet ke sektor riil. Dunia usaha menghadapi tekanan biaya, investasi tertahan, dan PHK menjadi instrumen penyesuaian paling cepat.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Analisis ini sejalan dengan proyeksi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang memperkirakan bahwa pada 2026 pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi melemah apabila persoalan struktural tidak segera dibenahi. CELIOS menyoroti kualitas pertumbuhan yang rapuh, lemahnya basis penerimaan negara, serta meningkatnya beban utang sebagai faktor yang menekan keberlanjutan ekonomi. Dengan kata lain, persoalan utamanya bukan pada angka pertumbuhan, melainkan pada daya tahan ekonomi dan distribusi manfaatnya.
Data PHK sepanjang 2025 menjadi bukti nyata bahwa pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta menjamin stabilitas sosial. Jika negara benar-benar memperoleh keuntungan dari pertumbuhan tersebut, dunia usaha seharusnya memiliki ruang untuk mempertahankan dan menciptakan lapangan kerja. Namun ketika negara berada dalam posisi “rugi” secara fiskal, tekanan itu berpindah ke sektor usaha dan akhirnya ditanggung oleh para pekerja.

Kondisi ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi 5,04 persen dapat berjalan bersamaan dengan PHK massal apabila negara tidak sehat secara struktural. Angka pertumbuhan menjadi statistik yang tampak indah, tetapi tidak cukup kuat untuk melindungi rakyat dari kehilangan pekerjaan dan penurunan kesejahteraan.
Menjelang 2026, tantangan terbesar Indonesia bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan 5,4 persen, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan tersebut menghasilkan keuntungan nyata bagi negara dan rakyat. Tanpa perbaikan fundamental dalam kualitas pertumbuhan, pengelolaan fiskal, dan penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka yang dirayakan, sementara PHK terus tak terbendung.



