beritax.id – Dalam beberapa waktu terakhir, arah pengelolaan informasi publik di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Ruang kerja pers yang seharusnya independen dan kritis perlahan digeser oleh mekanisme kontrol informasi negara melalui regulasi, narasi resmi, dan pembatasan akses informasi. Pergeseran ini menandai perubahan penting: dari kebebasan pers menuju sentralisasi informasi di tangan pemerintah.
Perdebatan publik menguat seiring pembahasan revisi UU Penyiaran yang memuat pasal-pasal berpotensi membatasi penayangan konten jurnalistik investigatif di platform digital. Alih-alih memperkuat kualitas informasi, regulasi ini justru dipandang dapat membuka ruang sensor terselubung dan mempersempit kebebasan redaksi.
Jika disahkan tanpa koreksi, negara bukan hanya mengatur frekuensi siaran, tetapi juga berpotensi mengatur isi dan sudut pandang pemberitaan.
Narasi Resmi Menguat, Kritik Ditekan
Dalam berbagai isu nasional mulai dari kebijakan ekonomi, konflik agraria, hingga proyek strategis narasi resmi pemerintah semakin dominan. Kritik dari media dan masyarakat sipil kerap dibalas dengan klarifikasi sepihak, pelabelan “menyesatkan”, atau ajakan untuk tidak memperkeruh suasana.
Pola ini menempatkan pers bukan sebagai mitra demokrasi, melainkan sebagai pihak yang harus diawasi.
Di lapangan, jurnalis menghadapi kesulitan memperoleh data primer, wawancara pejabat kunci, hingga dokumen publik yang seharusnya terbuka. Banyak informasi penting justru disalurkan melalui rilis resmi dan konferensi pers satu arah, mempersempit ruang verifikasi dan pendalaman.
Akibatnya, publik menerima informasi yang sudah disaring, bukan realitas yang utuh.
Pers yang dibatasi akan melemahkan hak warga untuk tahu. Tanpa jurnalisme yang bebas dan kritis, masyarakat kehilangan alat untuk mengawasi kekuasaan. Pergeseran kontrol informasi ini bukan hanya soal media, tetapi soal kualitas demokrasi dan partisipasi publik.
Ketika pemerintah menjadi penentu utama kebenaran, ruang dialog perlahan berubah menjadi ruang instruksi.
Ketimpangan Kekuasaan dalam Arus Informasi
Negara memiliki sumber daya besar untuk membentuk opini: anggaran, aparat, dan kanal komunikasi resmi. Tanpa penyeimbang dari pers yang independen, ketimpangan ini akan semakin lebar. Informasi tidak lagi berfungsi sebagai alat pencerahan, melainkan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan.
Dalam situasi ini, publik berisiko menjadi konsumen narasi, bukan penilai kebijakan.
Solusi: Mengembalikan Informasi ke Publik
Untuk mencegah kemunduran demokrasi informasi, langkah-langkah berikut perlu ditegaskan:
- Menjamin kemerdekaan pers tanpa pasal multitafsir
Regulasi harus melindungi, bukan membatasi kerja jurnalistik. - Membuka akses data dan informasi publik secara aktif
Transparansi adalah kewajiban negara, bukan kemurahan hati. - Menghentikan praktik pelabelan kritik sebagai ancaman
Perbedaan pandangan adalah inti demokrasi. - Memperkuat mekanisme etik pers, bukan kontrol negara
Koreksi harus datang dari komunitas pers dan publik, bukan sensor kekuasaan.
Informasi publik bukan properti negara, melainkan hak warga. Ketika kontrol informasi bergeser dari pers ke pemerintah, yang terancam bukan hanya kebebasan media, tetapi hak dasar rakyat untuk memahami dan menilai kekuasaan.
Demokrasi hanya hidup jika kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi diuji oleh publik yang merdeka.



