Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Ketika Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, publik disuguhi wacana baru pemerintah daerah kini dapat berutang kepada pemerintah pusat. Sekilas terdengar administratif dan teknokratis, namun di balik bahasa regulasi itu terselip sebuah logika berbahaya, bahwa pelayan publik kini mulai berhutang kepada sesama pelayan publik, seolah uang rakyat adalah milik lembaga yang saling pinjam, bukan amanah yang harus dijaga.
Negara Bukan Bank, Pemerintah Bukan Kreditur
Jika kita memaknai negara sebagai keluarga besar rakyat Indonesia, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanyalah asisten rumah tangga, yang bekerja atas nama dan kepentingan majikan bernama rakyat. Dalam rumah tangga, seorang asisten tidak pantas meminjam uang dari asisten lainnya, apalagi dengan bunga dan sanksi keterlambatan. Sebab, keduanya bekerja atas sumber yang sama: uang majikan.
Dengan PP ini, logika dasar tersebut dibalik. Negara kini seperti rumah yang para pengurusnya saling memberi pinjaman menggunakan uang dari lemari majikan yang sama. Akibatnya, uang publik bisa habis di antara sesama pelayan, sementara sang pemilik (rakyat) hanya menerima residu janji pembangunan yang terpotong biaya bunga, denda, dan administrasi.
Amandemen Kelima dan Sekolah Negarawan
Padahal, dalam rancangan amandemen kelima UUD 1945, khususnya Pasal 100 ayat (8) huruf (b), arah pikirannya jauh lebih negarawan:
“Pemerintah Daerah dapat mengajukan permintaan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan untuk memperoleh persetujuan pencairan dana tambahan.”
Kata kuncinya adalah permintaan untuk persetujuan pencairan, bukan pinjaman dengan bunga. Artinya, hubungan antara pusat dan daerah diletakkan pada asas solidaritas dan sinergi dalam pelayanan publik, bukan pada skema kreditur-debitur yang beraroma korporatis.
Konsep ini lahir dari kesadaran filosofis bahwa pemerintah hanyalah pelaksana amanat rakyat, bukan entitas bisnis yang mencari margin dari sesama lembaga publik. Di sinilah letak perbedaan antara negara yang berjiwa gotong royong dan negara yang berubah menjadi perusahaan raksasa.
Bahaya Logika Finansialisasi Negara
Ketika negara mulai dikelola dengan logika korporasi, setiap kebijakan akan diukur dalam nilai pinjaman, bunga, dan return of investment. Padahal, fungsi pemerintahan tidak diukur dengan laba, tetapi dengan kesejahteraan dan martabat manusia.
Skema pinjaman antar pemerintah ini akan menimbulkan beberapa efek samping serius:
- Melemahkan kemandirian fiskal daerah.
Daerah yang seharusnya tumbuh dengan dana bagi hasil dan desentralisasi, kini terjebak dalam ketergantungan fiskal terhadap pusat. - Meningkatkan risiko korupsi dan manipulasi laporan keuangan.
Ketika pinjaman disertai bunga, denda, dan syarat dokumen panjang, ruang gelap negosiasi dan mark-up otomatis melebar. - Menjadikan APBN dan APBD berwatak rentenir.
Uang publik yang seharusnya berputar untuk kepentingan rakyat, justru berputar di antara birokrasi sendiri.
Kembali ke Akal Sehat Konstitusi
Amandemen kelima yang mengusulkan model “pencairan dana tambahan” bukan tanpa alasan. Ia ingin memulihkan makna negara sebagai rumah tangga rakyat, di mana setiap pelayan (eksekutif) bekerja dengan semangat pengabdian, bukan transaksi.
Pemerintah pusat bukan bank, dan daerah bukan nasabah.
Keduanya adalah tangan kanan dan kiri rakyat yang harus bekerja seirama, bukan saling menagih cicilan. Bila paradigma ini tidak diluruskan, maka bukan tidak mungkin kelak rakyat harus menanggung beban bunga dari uangnya sendiri.
Dan di saat itulah, bangsa ini bukan lagi republik, melainkan perusahaan—dengan rakyat sebagai pemegang saham tanpa dividen.



