Di tengah hiruk-pikuk dunia digital dan kemajuan teknologi, muncul satu ironi yang tak bisa kita abaikan yaitu ketika kecerdasan buatan (AI) justru tampak lebih beretika, lebih jujur, dan lebih adil dibanding institusi pemerintahan yang diisi oleh manusia berdarah dan bernyawa.
Ini bukan sekadar lelucon futuristik. Ini potret nyata yang kita saksikan hari-hari ini.
Rakyat Menjerit, (Oknum) Pemerintah Indonesia Berpesta?
Fenomena ini bukan isapan jempol. Survei Transparency International 2023 menempatkan Indonesia pada skor 34 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela, dan kepercayaan publik terhadap lembaga publik kian menipis. Tak heran, rakyat melihat pejabat berdasi justru sebagai simbol beban, bukan pelindung.
Di sisi lain, mesin AI yang tidak punya nafsu, ego, dan kepentingan justru memberi kita pelajaran paling mendasar ketika kita bertanya tentang tugas pemerintah. Sebuah mesin mampu menjawab dengan tegas bahwa pemerintah itu tugasnya untuk melayani rakyat, bukan memeras.
Sederhana. Tapi justru terlalu sulit diwujudkan oleh manusia yang terjebak dalam jabatan transaksional dan kerakusan struktural.
Presiden AI: Fantasi atau Refleksi Krisis Kepercayaan?
Sempat terbesit di benak penulis tentang wacana Presiden AI, memang terdengar absurd. Namun absurditas itu justru muncul karena manusia yang seharusnya kita percaya telah gagal memenuhi ekspektasi. Gagal menjadi pemimpin yang berhati nurani. Menurut survei Edelman Trust Barometer 2024, kepercayaan masyarakat global terhadap pemerintah hanya 51%, jauh di bawah kepercayaan terhadap teknologi yang mencapai 76%.
Merujuk pada artikel caknun.com, Presiden Artificial Intelligence (AI) Sebagai Alternatif pernah dibicarakan bahkan dijadikan sebagai tema dalam Tafsir Nadjibiyah yang berkolaborasi dengan Partai X dan Radius.
Caknun.com mengambil data dari Estonia. Sejak 2019, negara kecil di Eropa ini mulai menguji coba penggunaan AI dalam sistem peradilan, khususnya untuk menangani kasus pelanggaran ringan. Hasil awalnya menjanjikan, di mana AI mampu memproses kasus dengan efisien, adil, dan konsisten, tanpa beban subjektivitas.
Mereka juga mengembangkan alat pengenalan suara untuk mencatat jalannya sidang secara otomatis dan akurat, mengurangi human error dan mempercepat proses hukum. Estonia menjadi bukti bahwa ketika manusia berani mengadopsi sistem yang bersih dan transparan, teknologi dapat membantu mengembalikan kepercayaan publik.
“Data-data ini menggoda. Jika manusia gagal menegakkan hukum dan keadilan, mungkin memang mesinlah yang harus kita beri kesempatan,” mengutip dari caknun.com pada 8 Juli 2025.
Memang patut diakui jika AI tidak butuh elektabilitas. Ia tidak mencium tangan rakyat jelata untuk pencitraan. Ia tidak mendirikan tambang setelah berpidato soal lingkungan. AI hanya menjalankan instruksi sesuai prinsip logika dan efisiensi berbasis data. Tidak ada ruang untuk kemunafikan, tidak ada tempat untuk pencitraan murahan.
Pemerintah Indonesia: Nurani Buatan vs Nurani Palsu
AI tidak punya hati. Tapi manusia yang memimpin negeri ini seolah-olah juga kehilangan hatinya.
Yang lebih menyedihkan, nurani hari ini menjadi alat tawar-menawar pejabat publik. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, sepanjang tahun, ada lebih dari 1.200 kasus korupsi yang diungkap, dan sebagian besar pelakunya adalah aparatur negara. Bukan rakyat jelata. Bukan AI. Tapi manusia-manusia yang seharusnya menjadi teladan.
Nurani AI bisa diprogram. Bisa diaudit. Bisa diperbarui. Tapi nurani manusia hari ini seolah sudah tidak bisa diperbaiki. Ia telah dilumpuhkan oleh sistem yang membiarkan kebohongan dan keserakahan jadi norma.
Sistem yang Busuk Bukan Karena Mesin, Tapi Manusia
Masalahnya bukan di teknologi. Bukan di AI. Masalahnya ada pada sistem. Kita telah mencampuradukkan fungsi lembaga negara dengan lembaga pemerintah. Ketika pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka kekuasaan menjadi liar. Korupsi menjadi tak terdeteksi. Dan nurani menjadi tak berarti.
Menurut laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Public Governance Review, negara-negara dengan sistem pemisahan kekuasaan dan pengawasan yang ketat seperti Finlandia dan Selandia Baru, mereka memiliki tingkat korupsi yang sangat rendah dan tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap pemerintah. Mereka menunjukkan bahwa sistem yang kuat bisa melahirkan nurani birokrasi yang sehat.
Harapan di Perubahan Sistem
AI bukan solusi final. Tapi keberadaannya adalah tamparankeras bagi sistem pemerintahan kita. Ketika rakyat lebih percaya pada algoritma ketimbang pada pemimpinnya sendiri, maka kita harus sadar: kita sedang tenggelam dalam krisis etika dan kepercayaan.
Karena itu, Partai X mengusulkan pemisahan jelas antara lembaga negara dan lembaga pemerintah. Agar pengawasan menjadi objektif, keputusan tidak beraroma kepentingan. Agar nurani tidak hanya jadi jargon kampanye.
Kita tidak sedang berkompetisi antara manusia dan mesin. Tapi kita sedang dihadapkan pada pertanyaan paling penting, yaitu mengapa manusia memilih berhenti menggunakan nuraninya? Jika benar Presiden AI tercipta, maka jelas tercermin kegagalan bagi kita sendiri. Di mana kita mengakui bahwa AI jauh lebih bisa dipercaya daripada manusia.