beritax.id — Pemusnahan mahkota Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat Papua. Anggota DPR dari Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas, menilai tindakan itu melanggar aturan dan mencederai martabat budaya. Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 26 Tahun 2017, khususnya Pasal 33 ayat 1 huruf (b) yang mengatur bahwa satwa mati atau diawetkan seharusnya diserahkan ke lembaga konservasi, bukan dimusnahkan.
Partai X menilai tindakan ini bukan sekadar kekeliruan administratif, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan budaya. Mahkota Cenderawasih bukan sekadar benda mati, melainkan simbol kehormatan dan jati diri rakyat Papua. Negara semestinya hadir untuk melindungi simbol-simbol kebudayaan, bukan menghancurkannya atas nama penegakan hukum.
Negara Harus Melindungi, Bukan Menginjak Martabat Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menegaskan bahwa tindakan tersebut menunjukkan lemahnya pemahaman aparatur negara terhadap makna kultural rakyat Papua. Ia mengingatkan kembali tiga tugas utama negara: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam konteks ini, negara telah gagal melindungi martabat rakyatnya sendiri.
Menurut Rinto, penegakan hukum harus dilandasi empati dan kearifan lokal. “Menegakkan aturan tidak berarti meniadakan nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya. Ia menegaskan, penghancuran simbol budaya atas nama hukum justru menyalahi prinsip dasar Pancasila, terutama sila kedua dan kelima yang menegaskan kemanusiaan yang beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip Partai X: Pemerintah Bukan Penguasa, Tapi Pelayan Rakyat
Partai X menegaskan bahwa pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, setiap keputusan pemerintah harus berpihak kepada rakyat, bukan menyakiti mereka.
Menurut prinsip Partai X, negara memiliki tiga unsur wilayah, rakyat, dan pemerintah. Pemerintah bukanlah pemilik negara, melainkan pelayan rakyat. Dalam analogi Partai X, negara adalah bus, rakyat adalah penumpang, dan pemerintah hanyalah sopir. Jika sopir ugal-ugalan dan membawa bus keluar jalur, rakyat sebagai pemilik berhak menegurnya bahkan menggantinya.
Solusi Partai X: Keadilan Budaya dan Reformasi Hukum
Partai X menawarkan solusi agar tragedi seperti ini tidak terulang. Pertama, dilakukan reformasi hukum berbasis kepakaran dan keadilan sosial, bukan sekadar formalitas birokratis. Penegakan hukum harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.
Kedua, pendidikan moral dan berbasis Pancasila harus diperkuat di semua lapisan masyarakat dan lembaga pemerintahan. Aparat negara harus memahami bahwa setiap tindakan hukum harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan prosedural.
Ketiga, Partai X mendesak dibentuknya Musyawarah Kenegarawanan Nasional, yang melibatkan kaum intelektual, tokoh agama, TNI/Polri, dan tokoh budaya Papua, untuk menyusun ulang pendekatan pembangunan berbasis martabat dan keadilan daerah.
Penutup: Negara Harus Belajar dari Papua
Partai X menegaskan bahwa peristiwa pembakaran mahkota Cenderawasih adalah cermin kegagalan negara dalam memahami makna keadilan sosial. Negara harus belajar bahwa keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal penghormatan terhadap identitas rakyatnya.
“Papua bukan sekadar wilayah administratif, melainkan rumah bagi kehormatan bangsa,” tegas Rinto Setiyawan. “Dan kehormatan itu hancur ketika simbol rakyat dibakar oleh tangan negara sendiri.”



