beritax.id – Pemerintah kembali menyebut pendekatan keamanan di Papua sebagai persuasif dan humanis. Namun laporan pengungsian warga sipil dari sejumlah wilayah menunjukkan kenyataan yang berbeda. Di tengah operasi keamanan yang terus berlangsung, banyak rumah warga justru ditinggalkan kosong karena penghuninya memilih menyelamatkan diri ke hutan dan daerah lain yang dianggap lebih aman.
Dalam beberapa waktu terakhir, pengungsian warga Papua kembali menjadi sorotan publik. Perempuan, anak-anak, dan lansia berjalan kaki berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk menghindari wilayah yang dianggap berisiko. Banyak rumah dibiarkan kosong, ladang terbengkalai, dan akses pendidikan anak terputus.
Pengungsian ini bukan fenomena baru, melainkan pola berulang yang selalu muncul setiap kali pendekatan keamanan dikedepankan tanpa perlindungan sipil yang memadai.
Keamanan yang Tidak Ramah bagi Warga
Keamanan versi negara sering diukur dari keberlangsungan operasi dan stabilitas wilayah. Namun bagi warga Papua, keamanan berarti bisa tinggal di rumah tanpa rasa takut, beraktivitas tanpa bayang-bayang kekerasan, dan hidup tanpa harus mengungsi.
Ketika rumah warga menjadi kosong, itu menandakan kegagalan negara memahami keamanan dari sudut pandang rakyat.
Situasi ini diperparah dengan terbatasnya akses informasi dari wilayah terdampak. Jurnalis, lembaga kemanusiaan, dan pemantau independen kerap mengalami hambatan untuk meliput kondisi pengungsi secara langsung. Akibatnya, penderitaan warga sering kalah oleh narasi resmi yang menenangkan.
Tanpa transparansi, pengosongan kampung-kampung warga menjadi angka yang mudah diabaikan.
Tanggapan: Negara Tidak Boleh Membuat Rakyat Pergi
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa pengungsian warga adalah sinyal serius kegagalan perlindungan negara.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika rakyat Papua justru dipaksa meninggalkan rumahnya demi merasa aman, maka negara telah gagal menjalankan fungsi perlindungan,” tegas Rinto.
Ia menambahkan bahwa mengatur wilayah tidak boleh berarti mengorbankan hak dasar warga untuk hidup aman di tanahnya sendiri.
Dampak Sosial yang Berkepanjangan
Rumah yang kosong bukan sekadar bangunan tanpa penghuni. Ia menandai hilangnya rasa aman, rusaknya ikatan sosial, dan trauma yang bisa berlangsung lama. Anak-anak kehilangan sekolah, keluarga kehilangan mata pencaharian, dan masyarakat hidup dalam ketidakpastian.
Jika dibiarkan, kondisi ini akan memperdalam ketidakpercayaan warga Papua terhadap negara.
Solusi: Menghentikan Pengosongan, Menghadirkan Perlindungan
Untuk keluar dari situasi ini, langkah-langkah berikut perlu segera ditempuh:
- Menempatkan keselamatan warga sipil sebagai prioritas utama
Keberhasilan kebijakan harus diukur dari berkurangnya pengungsian, bukan sekadar laporan operasi. - Membuka akses kemanusiaan dan informasi
Jurnalis dan lembaga kemanusiaan harus diberi ruang untuk memastikan kondisi warga. - Evaluasi menyeluruh pendekatan keamanan di Papua
Pendekatan yang memicu pengosongan kampung harus dihentikan. - Mengedepankan dialog dan pemulihan sosial
Masalah Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan.
Ketika operasi disebut persuasif tetapi rumah warga dipaksa kosong, maka yang keliru bukan persepsi warga, melainkan kebijakan negara. Keamanan sejati adalah ketika rakyat bisa tinggal di rumahnya sendiri tanpa rasa takut. Negara yang hadir seharusnya membuat rakyat bertahan, bukan pergi.



