beritax.id – Pemerintah kembali menggunakan istilah operasi persuasif untuk menggambarkan pendekatan keamanan di Papua. Namun di lapangan, istilah tersebut berbanding terbalik dengan realitas yang dialami warga. Di sejumlah wilayah, masyarakat sipil justru memilih meninggalkan kampung, berjalan kaki ke hutan, dan mengungsi berhari-hari demi menghindari potensi kekerasan. Operasi disebut persuasif, tetapi rakyat merespons dengan ketakutan dan pengungsian.
Pengungsian sebagai Bahasa Diam Warga
Dalam beberapa pekan terakhir, laporan pengungsian warga kembali mencuat dari wilayah Papua Pegunungan dan Papua Tengah. Perempuan, anak-anak, dan lansia meninggalkan rumah tanpa kepastian kapan bisa kembali. Mereka hidup dengan logistik terbatas, tanpa layanan kesehatan memadai, dan dalam kondisi rentan.
Pengungsian ini bukan keputusan ringan, melainkan sinyal kuat bahwa warga tidak merasa aman di ruang hidupnya sendiri.
Negara kerap memaknai keamanan sebagai keberhasilan operasi dan stabilitas wilayah. Namun bagi warga, keamanan berarti tidak harus lari ke hutan, tidak takut saat mendengar suara tembakan, dan tidak khawatir anak-anak menjadi korban. Ketika definisi keamanan hanya ditentukan dari atas, pengalaman warga sipil terpinggirkan.
Akibatnya, kebijakan keamanan kehilangan perspektif kemanusiaan.
Minimnya Akses Informasi dan Pengawasan
Situasi di lapangan diperburuk oleh terbatasnya akses jurnalis dan pemantau independen ke wilayah terdampak. Informasi yang sampai ke publik nasional sering kali bersifat sepihak dan normatif, sementara kesaksian warga pengungsi jarang terdengar.
Tanpa transparansi, penderitaan rakyat mudah disamarkan oleh istilah resmi.
Tanggapan: Negara Harus Hadir, Bukan Ditakuti
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa pengungsian warga adalah indikator kegagalan pendekatan negara.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika rakyat justru berlari ke hutan karena merasa terancam, maka fungsi perlindungan tidak berjalan,” ujar Rinto.
Ia menambahkan bahwa melayani rakyat Papua berarti memastikan keselamatan warga sipil, bukan sekadar menyampaikan laporan keberhasilan operasi.
Pengungsian berkepanjangan memutus pendidikan anak, merusak ketahanan pangan keluarga, dan menimbulkan trauma psikologis yang mendalam. Dalam jangka panjang, kondisi ini memperlebar jurang ketidakpercayaan antara negara dan warga Papua.
Keamanan yang dibangun di atas ketakutan hanya akan melahirkan luka sosial baru.
Solusi: Mengganti Pendekatan, Mengutamakan Kemanusiaan
Untuk menghentikan siklus ini, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Prioritaskan perlindungan warga sipil dalam setiap kebijakan keamanan
Keselamatan non-kombatan harus menjadi indikator utama keberhasilan. - Buka akses kemanusiaan dan informasi
Jurnalis, lembaga kemanusiaan, dan pemantau independen harus diberi ruang. - Pendekatan dialog dan kesejahteraan
Masalah Papua tidak bisa diselesaikan semata dengan operasi keamanan. - Evaluasi terbuka istilah dan praktik “operasi persuasif”
Negara harus jujur menilai dampak kebijakan dari sudut pandang warga.
Ketika operasi disebut persuasif tetapi rakyat memilih berjalan kaki ke hutan, maka yang perlu dikoreksi bukan reaksi warga, melainkan pendekatan negara. Keamanan sejati tidak lahir dari istilah yang menenangkan, melainkan dari kebijakan yang benar-benar melindungi manusia. Negara yang kuat adalah negara yang kehadirannya dirasakan aman—bukan ditakuti.



