beritax.id – Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berbagai narasi optimistis tentang kondisi bangsa. Pertumbuhan ekonomi diklaim stabil, inflasi disebut terkendali, dan berbagai program digambarkan berhasil menjangkau rakyat. Namun di balik narasi resmi itu, realitas di lapangan berbicara lain: harga kebutuhan pokok terus menekan, biaya hidup meningkat, lapangan kerja tidak kunjung memadai, dan bencana sosial-ekologis berulang tanpa penanganan tuntas.
Kesenjangan antara cerita yang dibangun dan kenyataan yang dirasakan rakyat semakin sulit disangkal.
Data dan Framing yang Selektif
Pemerintah dan pejabat kebijakan kerap mengandalkan data agregat untuk menunjukkan keberhasilan. Angka makro disajikan sebagai bukti kemajuan, sementara pengalaman konkret warga buruh dengan upah stagnan, petani yang lahannya tergerus, warga kota yang tercekik sewa dan transportasi tereduksi menjadi catatan kaki. Penderitaan rakyat tidak dihapus, tetapi diperkecil dalam bingkai komunikasi.
Dalam framing seperti ini, masalah struktural tampak seperti keluhan individual.
Kritik Diredam, Optimisme Dipaksakan
Di saat jarak antara narasi dan realitas melebar, kritik publik justru sering dipersepsikan sebagai sikap tidak konstruktif. Suara yang mengingatkan dianggap merusak optimisme, sementara pertanyaan atas kebijakan dibalas dengan pembelaan simbolik. Akibatnya, ruang diskusi publik menyempit dan penderitaan rakyat kehilangan panggungnya.
Negara seolah lebih sibuk menjaga citra ketimbang memperbaiki akar masalah.
Dampak Sosial yang Mengendap
Ketika penderitaan dikecilkan secara terus-menerus, risiko sosial mengendap di bawah permukaan. Kepercayaan publik menurun, apatisme meningkat, dan solidaritas warga menggantikan peran negara yang dirasa absen. Ini bukan sekadar krisis komunikasi, melainkan krisis empati dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan narasi, sementara luka sosial dibiarkan terbuka.
Solusi: Menghadirkan Kejujuran dan Empati dalam Kebijakan
Untuk keluar dari jebakan narasi semu, negara perlu memulai dari kejujuran membaca realitas rakyat. Data harus dipadukan dengan pengalaman hidup warga agar kebijakan tidak terlepas dari konteks sosial. Kritik publik perlu diperlakukan sebagai masukan berharga, bukan ancaman citra. Transparansi kebijakan dan evaluasi terbuka harus diperkuat agar keberhasilan dan kegagalan sama-sama diakui. Yang terpenting, orientasi kebijakan harus bergeser dari sekadar membangun cerita keberhasilan menuju penyelesaian nyata atas penderitaan rakyat.
Narasi boleh dibangun, tetapi keadilan dan kesejahteraan tidak boleh diperkecil. Negara hanya akan kuat jika berani menatap realitas rakyatnya apa adanya.



