beritax.id – Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan kesiapannya memberikan klarifikasi kepada Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi. Dugaan tersebut menyangkut pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek selama periode 2019–2022.
Dalam konferensi pers, Nadiem menegaskan komitmennya untuk kooperatif dan mendukung penegakan hukum. Ia percaya proses hukum dapat membedakan antara kebijakan menyimpang dengan kebijakan yang beritikad baik.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan indikasi manipulasi dalam pemilihan sistem operasi Chromebook. Kajian awal menyarankan Windows, namun diganti dengan Chrome OS melalui dokumen teknis baru.
Penyidikan menduga adanya pemufakatan jahat untuk mengarahkan pembelian pada produk tertentu. Proyek digitalisasi pendidikan ini menyedot anggaran hampir Rp10 triliun dari DAK dan DSP, namun hasil uji coba sebelumnya dinilai tidak efektif.
Partai X: Proyek Gagal Bukan Soal Presentasi, Tapi Soal Akuntabilitas
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, menilai respons Nadiem belum menyentuh esensi persoalan. “Kebijakan publik bukan soal niat baik atau narasi, tapi dampak dan pertanggungjawaban,” tegas Prayogi.
Ia menyatakan, negara tidak boleh membiarkan proyek triliunan menjadi panggung pencitraan tanpa manfaat riil. Pemerintah wajib melindungi rakyat dari pemborosan anggaran dan manipulasi proyek atas nama inovasi.
Menurut prinsip Partai X, pendidikan adalah hak dasar rakyat yang harus dikelola dengan transparansi, efisiensi, dan keberpihakan. Negara bukan arena startup yang bebas mengutak-atik sistem demi narasi digitalisasi.
Pemerintah harus melindungi anggaran pendidikan dari kepentingan komersial yang menyamar dalam jargon teknologi. Pendidikan tak boleh menjadi tempat kompromi antara bisnis dan kebijakan tanpa kontrol publik.
Solusi Partai X: Audit Forensik, Reformasi Sistem Pengadaan, dan Desain Teknologi Partisipatif
Partai X mengusulkan audit forensik menyeluruh atas proyek digitalisasi, termasuk seluruh vendor dan tim teknis yang terlibat. Skema pengadaan barang pendidikan harus diubah dari berbasis proyek ke berbasis kebutuhan lapangan.
Selain itu, proses pemilihan teknologi pendidikan harus melibatkan guru, siswa, dan ahli pendidikan sejak awal. Sistem yang digunakan harus adaptif terhadap kondisi nyata sekolah, bukan sekadar mengikuti tren global.
X-Institute melalui Sekolah Negarawan mengajarkan bahwa inovasi harus berakar pada realitas rakyat, bukan hanya estetika presentasi. Pemimpin pendidikan tidak boleh terjebak pada gimmick digital jika tidak disertai daya guna di lapangan.
Negarawan di bidang pendidikan harus berani bertanggung jawab, bukan hanya populer di konferensi. Mereka memahami bahwa kebijakan adalah amanat konstitusi, bukan ruang eksperimen personal.
Kesimpulan: Jangan Bungkus Proyek Gagal dengan Narasi Inovasi
Partai X mengingatkan bahwa proyek Chromebook adalah contoh konkret perlunya kontrol atas narasi-narasi inovasi yang tak berpijak pada realitas. Klarifikasi dari Nadiem penting, tapi lebih penting lagi adalah akuntabilitas dan evaluasi kebijakan menyeluruh.
Jika setiap proyek gagal hanya dibungkus dengan presentasi, maka rakyat akan terus membayar mahal untuk kebijakan yang tak memberi manfaat. Pendidikan harus dikembalikan ke tujuan utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mempertebal laporan korporasi.