beritax.id — Seorang kuasa wajib pajak, Fungsiawan, menggugat Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu dinilai multitafsir karena digunakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melarang wajib pajak merekam pertemuan dengan pejabat pajak. Padahal, norma pasal tersebut sebenarnya mengatur larangan bagi fiskus membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang perekaman.
Dalam praktiknya, DJP sering menolak perekaman audio visual meski perekaman itu bagian dari transparansi. “Larangan tersebut tidak bersumber dari norma undang-undang, melainkan tafsir yang berlebihan,” tulis Fungsiawan dalam gugatannya, Selasa (11/11/2025).
DJP Dituding Tidak Konsisten dalam Transparansi
Pemohon menilai DJP justru tidak konsisten. Secara internal, lembaga itu mewajibkan perekaman pada beberapa kegiatan pemeriksaan, namun sering kali rekaman tidak tersedia.
Ketiadaan rekaman itu menyebabkan proses pemeriksaan pajak cacat formil, karena rekaman merupakan bagian sah dari berita acara. Meski demikian, DJP tetap menggunakan berita acara tanpa rekaman sebagai dasar penerbitan keputusan hukum.
Majelis Hakim MK yang diketuai Suhartoyo meminta pemohon memperjelas argumen konstitusional yang menunjukkan kerugian akibat pasal tersebut. Perbaikan berkas diminta diserahkan paling lambat 24 November 2025.
Partai X: Rakyat Berhak Awasi Aparat
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa prinsip keterbukaan adalah fondasi negara demokratis. “Rakyat berhak mengawasi aparat. Transparansi tak boleh dibatasi, apalagi di sektor pajak yang menyangkut uang rakyat,” ujarnya di Jakarta, Rabu.
Rinto mengingatkan kembali hakikat negara yang diatur dalam prinsip dasar Partai X. “Tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Bukan menutup ruang partisipasi rakyat,” tegasnya.
Ia menilai, pelarangan perekaman justru berpotensi menutup ruang pengawasan publik dan memperlebar jarak antara pemerintah dengan rakyat.
Prinsip Partai X: Negara Harus Transparan dan Akuntabel
Partai X berpandangan bahwa kekuasaan adalah amanah rakyat yang wajib dijalankan dengan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab moral. Dalam dokumen prinsipnya, Partai X menegaskan bahwa negara adalah alat rakyat, bukan penguasa rakyat.“Transparansi adalah wujud pelayanan publik yang jujur. Kalau rakyat tak boleh merekam, maka keadilan bisa terancam,” kata Rinto.
Menurut Partai X, setiap pertemuan antara pejabat publik dan warga negara harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Negara tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sepihak untuk membungkam hak rakyat mengawasi birokrasi.
Solusi Partai X: Digitalisasi dan Akuntabilitas Fiskal
Partai X menawarkan solusi konkret agar pengawasan fiskal menjadi terbuka dan akuntabel:
- Digitalisasi sistem pelayanan pajak dengan rekaman otomatis yang tersimpan di server publik.
- Transparansi proses pemeriksaan pajak dengan akses terbatas bagi wajib pajak terhadap seluruh dokumen dan rekaman resmi.
- Pembentukan dewan pengawas independen pajak beranggotakan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan profesional.
“Kalau aparat dan rakyat sama-sama transparan, tak ada yang perlu disembunyikan. Negara justru makin kuat,” ujar Rinto.
Partai X menegaskan, reformasi birokrasi tidak boleh berhenti pada slogan. “Rakyat berhak merekam kinerja pejabat publik. Karena dari situlah akuntabilitas hidup, dan kepercayaan tumbuh,” tutup Rinto.



