Rechtstaat sebagai Konstitusi
beritax.id – Dalam negara hukum (Rechtstaat), segala bentuk penyelenggaraan kekuasaan harus tunduk pada hukum dan menjamin perlindungan hak-hak warga negara. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum adalah panglima tertinggi, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD Dasar 1945. UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ini adalah prinsip dasar yang menegaskan bahwa segala tindakan pemerintah, termasuk dalam bidang perpajakan, harus tunduk pada hukum dan menjamin perlindungan hak warga negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kecenderungan meningkatnya kekuasaan fiskal negara atas nama penerimaan negara dan kepatuhan perpajakan.
Salah satu wujud konkret dari kecenderungan ini adalah munculnya Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Kuasa Hukum, yang diduga memberikan kewenangan yang luas kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Salah satu perubahan signifikan adalah penegasan standar kompetensi yang harus dimiliki oleh Kuasa Hukum Pajak. Dalam RPMK, syarat keahlian tidak lagi sekedar ijazah, brevet perpajakan, maupun dokumentasi lainnya yang relevan, tetapi juga diwajibkan menunjukkan
- Surat Keterangan Kompetensi (SKK) yang diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) atau;
- Izin praktik konsultan pajak yang diterbitkan dari lembaga pendidikan dan pelatihan di lingkungan Kemenkeu, yakni Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK)
Artinya, SKK hanya dapat diterbitkan oleh lembaga di bawah Kemenkeu (BPPK atau PPPK) menimbulkan kesan monopoli yang dilakukan Kementerian Keuangan dalam menentukan kompetensi kuasa hukum. Ini membatasi organisasi profesi independen dalam menilai atau memverifikasi keahlian para praktisi. Negara tampak lebih menekankan peran sebagai pemungut pajak yang dominan (Taxstaat) ketimbang menjamin keadilan dan perlindungan hukum yang seimbang bagi wajib pajak dalam sistem Negara Hukum (Rechtstaat).
Keseimbangan Antara Taxstaat dan Rechtstaat
RPMK tentang Kuasa Hukum akan memberikan kewenangan luas dan sepihak kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menunjuk kuasa hukum tanpa mekanisme supervisi yang ketat dan tanpa prinsip kesetaraan posisi para pihak dalam proses hukum. Berpotensi menciptakan dominasi fiskus dalam proses peradilan perpajakan. Lebih lanjut, intervensi negara yang terlalu kuat dalam urusan hukum pajak. Apalagi jika menyentuh aspek keleluasaan menunjuk dan mengatur kuasa hukum. Hal ini berisiko mencederai hak konstitusional wajib pajak untuk mendapatkan bantuan hukum yang independen dan tidak berpihak. Padahal, hak atas bantuan hukum dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Dengan demikian, keseimbangan antara Taxstaat dan Rechtstaat bukan sekadar isu administratif. Melainkan merupakan indikator kualitas demokrasi dan peradaban hukum suatu bangsa. Negara yang terlalu menekankan diri sebagai Taxstaat tanpa dikontrol oleh prinsip Rechtsstaat. Akan mudah tergelincir menjadi negara yang represif. Di mana kewajiban warga negara untuk membayar pajak tidak lagi diiringi dengan jaminan perlindungan haknya sebagai subjek hukum yang merdeka. Di sinilah pentingnya peran pengacara pajak, akademisi, dan organisasi profesi hukum untuk secara kritis mengawal. Agar arah pembangunan sistem perpajakan tidak keluar dari koridor negara hukum. Maka DJP sebagai organ negara harus mengedepankan fungsi administratif,bukan yudikatif. Maka, DJP tidak sepatutnya mengatur siapa yang boleh menjadi kuasa hukum dalam peradilan pajak secara sepihak. Solusi yang dapat kami berikan adalah. Bangun skema kerja sama dan standarisasi kompetensi bersama organisasi profesi hukum dan perpajakan untuk menciptakan standar kode etik, bukan pengaturan sepihak.
Penulis: Yunandi Juneris
📩 Untuk wawancara media atau penjelasan, hubungi:
Rey & Co. Tax Attorneys
✉️ [email protected]
📞 +62 811-1300-0088
🌐 https://www.reyandco.co.id/