beritax.id – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menilai upaya pemerataan pendidikan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih jauh dari harapan. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Pendidikan Komisi X bersama organisasi masyarakat sipil, Esti menggarisbawahi pentingnya kebijakan berpihak dan dukungan anggaran untuk mempercepat perbaikan pendidikan di wilayah marjinal.
Esti menyebut berbagai temuan lapangan menunjukkan kondisi fasilitas sekolah di daerah 3T sangat memprihatinkan. Sejumlah gedung sekolah rusak, tidak layak pakai, bahkan ada yang tanpa fasilitas dasar seperti air bersih dan listrik. Temuan ini didokumentasikan dari wilayah seperti Kupang (NTT), Palembang (Sumsel), dan Kepulauan Mentawai (Sumbar). Komisi X meminta perhatian serius dari pemerintah untuk segera mengalokasikan dana tambahan sebagai respons atas persoalan tersebut.
Anggaran Lagi, Tapi Tanpa Arah dan Evaluasi?
Namun, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, justru menyoroti pola pikir di balik permintaan tambahan anggaran. Ia mengingatkan bahwa anggaran pendidikan tidak bisa terus dijadikan ritual tahunan tanpa disertai evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dana sebelumnya. Menurutnya, dana besar bukan jaminan solusi, jika tidak disertai akuntabilitas.
“Permintaan dana ini harus dibarengi kejujuran dalam evaluasi. Jangan ulangi kebiasaan lama: anggaran naik, hasil tetap stagnan,” ujar Prayogi. Ia menegaskan, pemerintah wajib melindungi, melayani, dan mengatur rakyat, bukan hanya membelanjakan anggaran tanpa arah dan dampak jelas.
Partai X Ingatkan Prinsip: Prioritas pada Hasil, Bukan Seremoni Pejabat
Mengacu pada prinsip dasar Partai X, Prayogi menegaskan pentingnya keberpihakan nyata dalam setiap kebijakan. Pembangunan sektor pendidikan seharusnya berorientasi pada pemerataan hak, bukan pada citra pemerintah atau seremoni pejabat. Ia mengkritik program revitalisasi sekolah yang dipusatkan oleh Presiden Prabowo Subianto di Bogor pada 2 Mei 2025, agar tidak menjadi panggung pencitraan tanpa implementasi menyeluruh.
“Kita ingin melihat hasil, bukan hanya peresmian simbolis. Di lapangan, sekolah roboh dan anak-anak tetap belajar di gubuk,” ucap Prayogi. Ia mengajak publik untuk menuntut data terbuka, pelibatan masyarakat lokal, dan pelaporan rutin atas capaian revitalisasi.
Partai X menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, bukan hadiah dari negara. Oleh karena itu, rakyat harus dilibatkan dalam menyusun dan mengawasi kebijakan pendidikan, terutama di wilayah yang selama ini tertinggal dalam pembangunan.
Menurut Prayogi, pelibatan organisasi lokal, guru daerah, serta orang tua murid dapat memperkaya kebijakan dan mencegah kebijakan pusat dan tidak membumi.
“Kalau kita serius membangun bangsa, mulailah dari pinggiran. Bangun dari dusun, bukan hanya dari gedung mentereng di ibukota,” tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa ketimpangan pendidikan bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi cermin dari ketimpangan struktural dalam tata kelola negara.
Pengawasan Rakyat Jadi Ujung Tombak Perubahan
Sebagai partai yang menjunjung prinsip transparansi, keadilan sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil, Partai X mendorong penguatan mekanisme audit publik dan pelibatan komunitas pendidikan dalam perencanaan hingga evaluasi anggaran. Dalam konteks daerah 3T, rakyat tidak boleh hanya jadi objek program, tetapi harus menjadi aktor utama perubahan.
Prayogi menyimpulkan bahwa tanpa pendekatan sistemik dan pengawasan rakyat, permintaan anggaran tambahan hanya akan jadi rutinitas kosong yang mengulangi kesalahan masa lalu. Ia mendesak Komisi X DPR RI dan Kemendikbudristek membuka peta jalan kebijakan pendidikan secara terbuka kepada publik.