Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Bayangkan negara ini sebagai sebuah rumah tangga besar. Rakyat adalah pemilik rumah, MPR adalah suami yang bertanggung jawab menjaga arah dan kehormatan keluarga, sementara Presiden hanyalah asisten rumah tangga atau, meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, TKI 1 (Tenaga Kerja Indonesia Satu) yang bekerja mengatur dapur, kebun, dan pekarangan agar rumah berjalan tertib.
Dalam rumah tangga itu, Ketua DPR dan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah karyawan rakyat juga. Tapi posisi mereka unik bukan pelaksana kerja seperti presiden, melainkan pengawas utama kinerja asisten rumah tangga.
DPR bertugas memastikan TKI 1 tidak curang, tidak korup, tidak malas, dan tidak membuat aturan rumah yang justru menyusahkan pemilik rumah yaitu rakyat itu sendiri.
DPR: Pengawas, Bukan Rekan Kongkalikong
Sayangnya, dalam praktik bernegara, pengawas dan pelaksana kerja sering kali kongkalikong. Yang seharusnya saling menegur, malah saling melindungi. Yang seharusnya menjaga rakyat dari penyelewengan, malah bersekongkol membuat aturan yang menindas rakyat dengan nama pembangunan dan regulasi.
Analogi rumah tangga ini menjadi sangat jelas:
Bagaimana jika asisten rumah tangga dan pengawasnya bersekongkol untuk mengambil uang belanja, menipu pemilik rumah, dan membuat aturan baru tanpa sepengetahuan istri yang seharusnya dilindungi?
Yang menderita tentu rakyat si “istri” yang seharusnya hidup tenteram, justru terus dibebani dan ditakut-takuti oleh peraturan yang tidak adil.
Di sinilah fungsi Ketua DPR menjadi sangat penting. Ia bukan teman presiden, bukan rekan satu geng kekuasaan, melainkan mandor rakyat yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Ketika DPR justru ikut bersekongkol, maka rumah tangga bangsa ini kehilangan penjaganya.
Rakyat sebagai Istri, MPR sebagai Suami Pelindung
Dalam struktur yang lebih tinggi, MPR berfungsi seperti seorang suami yang melindungi keluarga.
Ia memiliki empat sifat utama:
- Intelektual (akal dan nalar yang mengarahkan kebijakan),
- Rohaniawan (hati dan moral yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan),
- Militer dan Kepolisian (tulang punggung pertahanan dan keamanan), dan
- Budayawan (jiwa dan karakter bangsa yang memelihara identitas).
Sementara rakyat ibarat istri dalam rumah tangga memiliki hak untuk hidup tenang, memperoleh kasih sayang, dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan struktural.
Ia bukan pihak yang harus tunduk buta pada aturan, melainkan mitra kehidupan yang sejajar dalam kehormatan dan keadilan.
Maka, jika DPR dan Presiden gagal bekerja, MPR-lah yang seharusnya turun tangan bukan untuk menghukum, tapi untuk menata ulang keseimbangan rumah tangga negara.
Begitulah sejatinya sistem check and balance yang berakar dari nilai-nilai keluarga Nusantara: berbasis tanggung jawab, kasih, dan pengabdian, bukan keserakahan.
DPR Harus Menjadi Cermin Moral Rakyat
Ketua DPR seharusnya tidak duduk di kursi kekuasaan, tapi berdiri di depan kaca nurani rakyat. Ia tidak boleh melihat presiden sebagai atasan, tetapi sebagai pekerja yang harus dipertanggungjawabkan.
Ia tidak boleh bersembunyi di balik politik partai, tetapi harus menegakkan kehendak rakyat satu-satunya pihak yang berhak menilai apakah “asisten rumah tangga” negara ini sudah bekerja dengan baik atau belum.
DPR yang sehat adalah yang menolak gratifikasi politik. Yang lebih takut pada rakyat daripada pada presiden. Yang lebih menghormati mandat daripada jabatan. Karena ketika DPR lupa perannya, maka negara ini berubah dari rumah rakyat menjadi istana kekuasaan.
Penutup: Saatnya Rumah Ini Dibenahi
Negara yang ideal bukan yang banyak aturan, tapi yang tertib moral. Rakyat sebagai pemilik rumah harus tahu haknya, MPR sebagai suami pelindung harus tegas menata arah, Ketua DPR sebagai pengawas harus berani menegur, dan Presiden sebagai TKI 1 harus bekerja sepenuh hati tanpa merasa raja.
Jika keempatnya bekerja sesuai kodratnya, Indonesia akan kembali menjadi rumah yang tenteram bukan benteng kekuasaan yang menakutkan pemiliknya sendiri.
Catatan Penulis:
Tulisan ini berangkat dari gagasan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan refleksi filosofis tentang hubungan rakyat dan negara dalam tatanan baru kenegaraan berbasis nilai keluarga Nusantara di mana kekuasaan adalah amanah, bukan kemewahan, dan rakyat adalah pemilik sah dari seluruh sistem pemerintahan.



