beritax.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran prosedur dalam proses hukum terhadap sejumlah pelajar dan aktivis yang ditangkap pasca-kerusuhan demonstrasi akhir Agustus lalu. Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina, menyebut aparat kepolisian bertindak sewenang-wenang dalam penangkapan dan penyitaan barang pribadi seperti telepon, laptop, hingga buku milik aktivis pelajar Ahmad Faiz Yusuf.
Pendamping hukum Faiz bahkan melaporkan adanya pemaksaan pengakuan tanpa penjelasan status hukum yang jelas. Aparat juga disebut tidak menunjukkan surat penangkapan resmi. “Kami melihat adanya indikasi pelanggaran prosedur dalam penangkapan dan penetapan tersangka para aktivis,” ujar Putu di Jakarta.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan pelanggaran serupa terjadi di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. “Tidak ada surat penangkapan, seperti asal jaring saja,” katanya.
Kritik Partai X: Negara Tak Boleh Melupakan Kemanusiaan
Menanggapi temuan tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ia menilai tindakan aparat yang mengabaikan hak-hak dasar warga negara telah mengkhianati prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial.“Negara tidak boleh kehilangan akal sehat dalam menegakkan hukum. Aparat harus menjadi pelindung, bukan predator rakyat,” tegas Rinto.
Menurutnya, penegakan hukum yang melanggar prosedur hanyalah bentuk kekuasaan tanpa moral. Negara yang berdaulat seharusnya menegakkan hukum dengan nurani, bukan dengan intimidasi.
Partai X memandang penegakan hukum bukan hanya soal formalitas hukum pidana, tetapi juga tanggung jawab moral pemerintah untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan perlakuan manusiawi. “Menangkap tanpa surat, memaksa pengakuan, dan menakuti pelajar adalah praktik otoriter yang mencederai demokrasi,” ujarnya.
Prinsip Partai X: Pemerintah Adalah Pelayan, Bukan Penguasa
Partai X menegaskan bahwa pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan untuk mengatur dan melayani. Kekuasaan yang dijalankan tanpa transparansi dan kemanusiaan adalah bentuk penyimpangan dari makna negara yang sesungguhnya.
“Negara adalah entitas rakyat, bukan alat represi. Aparat penegak hukum wajib berperilaku sebagai negarawan, bukan algojo kekuasaan,” lanjut Rinto.
Dalam pandangan Partai X, hukum yang adil lahir dari kebijaksanaan dan hikmah, bukan dari kekerasan. Negara yang gagal menjamin rasa aman dan keadilan bagi rakyatnya telah gagal menunaikan fungsi dasarnya sebagai pelindung rakyat.
Solusi Partai X: Reformasi Hukum Berbasis Kemanusiaan dan Kepakaran
Partai X menilai solusi atas persoalan ini bukan sekadar pergantian aparat, melainkan reformasi sistemik. Pemerintah perlu menjalankan reformasi hukum berbasis kepakaran, agar keadilan berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan atau suara terbanyak.
Partai X juga menyerukan transformasi birokrasi digital di lembaga penegak hukum untuk mencegah manipulasi proses penangkapan dan penyidikan. Digitalisasi data hukum akan memastikan transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Selain itu, pendidikan moral dan berbasis Pancasila wajib ditanamkan sejak dini agar aparat penegak hukum memahami bahwa tugas mereka bukan hanya menegakkan aturan, tetapi menjaga martabat kemanusiaan.
Penutup: Penegakan Hukum Harus Menyentuh Nurani
Partai X menegaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang hidup di hati rakyat, bukan yang hanya tertulis di pasal-pasal kaku. Negara tidak boleh menjadi mesin kekuasaan yang menakuti rakyatnya.
“Penegakan hukum harus manusiawi. Jika rakyat takut pada aparat, maka negara sedang kehilangan jiwanya,” pungkas Rinto Setiyawan dengan tegas.



