beritax.id – Di atas kertas, ekonomi Indonesia terus menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan. Angka-angka makro terlihat stabil, investasi dilaporkan naik, dan pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa ekonomi sedang berada di jalur yang benar. Namun di lapangan, cerita yang disampaikan rakyat jauh berbeda. Harga kebutuhan pokok tak terkendali, lapangan pekerjaan berkualitas sulit diakses, dan pendapatan masyarakat tidak bertumbuh secepat biaya hidup. Ketika mayoritas rakyat tidak merasakan pertumbuhan, maka pertumbuhan itu belum berpihak pada mereka.
Jurang Kaya-Miskin yang Makin Terbuka
Fenomena paling mencolok dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya ketimpangan ekonomi. Kelompok ekonomi atas terus mengalami peningkatan aset, sementara kelompok menengah ke bawah justru kesulitan untuk bertahan. Akses terhadap layanan dasar pendidikan, kesehatan, perumahan semakin ditentukan oleh kemampuan finansial, bukan oleh hak sebagai warga negara. Ketimpangan yang melebar adalah sinyal bahwa ada arah pembangunan yang tidak tepat.
Pusat Ekonomi Maju, Pinggiran Tertinggal
Ketimpangan bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga soal geografis. Di kota-kota besar, pusat ekonomi berkembang pesat, tetapi di daerah-daerah, akses terhadap infrastruktur dasar masih menjadi persoalan. Petani menghadapi fluktuasi harga yang membuat penghasilan tidak menentu. Nelayan menghadapi biaya produksi tinggi, sementara hasil tangkap tidak selalu menguntungkan. UMKM banyak yang gulung tikar dalam derasnya persaingan dan naiknya harga bahan baku.
Pembangunan yang timpang ini menjadi bukti bahwa ekonomi belum mencerminkan pemerataan.
Ketergantungan pada Kebijakan Pro-Investor
Banyak kebijakan ekonomi lebih condong mendukung industri besar dan investor, dengan dalih menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. Sayangnya, efek ke bawah dari kebijakan ini tidak selalu terjadi. Pertumbuhan sektor besar tidak otomatis memperbaiki kesejahteraan rakyat, karena struktur ekonomi lebih menguntungkan pelaku modal daripada pekerja. Jika pembangunan terlalu fokus pada kepentingan atas, maka kepentingan bawah akan tertinggal.
Dalam situasi ekonomi yang tidak merata, beban hidup rakyat menjadi semakin berat. Setiap kenaikan harga pangan adalah pukulan. Setiap kebijakan baru yang kurang sensitif menjadi beban tambahan. Sementara itu, ruang warga untuk mengawasi atau mengoreksi kebijakan masih sangat terbatas.
Ketika suara rakyat tidak didengar, ketimpangan akan terus mencari celah untuk membesar.
Solusi: Mengembalikan Fokus Ekonomi pada Kesejahteraan Publik
Untuk mengatasi ketimpangan yang semakin melebar, negara perlu mengubah arah kebijakan menuju ekonomi yang lebih adil dan manusiawi. Pertama, kebijakan redistribusi harus diperkuat melalui layanan publik yang terjangkau, jaminan sosial yang inklusif, dan perpajakan yang adil. Kedua, sektor-sektor yang menjadi tumpuan hidup rakyat seperti pertanian, perikanan, dan UMKM harus mendapatkan dukungan nyata berupa pembiayaan, pelatihan, dan akses pasar. Ketiga, negara harus memastikan stabilitas harga melalui pengawasan ketat terhadap rantai pasok serta penyederhanaan distribusi pangan.
Keempat, penyediaan lapangan kerja berkualitas harus menjadi prioritas, bukan hanya meningkatkan jumlah pekerjaan tanpa memperhatikan pendapatan layak.
Kelima, partisipasi publik harus diperluas agar rakyat dapat mengawasi arah pembangunan ekonomi sehingga tidak hanya berpihak pada kelompok tertentu.
Keadilan ekonomi tidak muncul dengan sendirinya—ia dibangun melalui kebijakan yang benar-benar berpihak.
Kesimpulan: Ketimpangan adalah Cermin Arah Pembangunan yang Salah
Ketimpangan yang semakin melebar adalah tanda bahwa pertumbuhan ekonomi belum berpihak pada rakyat. Jika pembangunan tidak menghadirkan kesejahteraan bagi mayoritas warga, maka pembangunan itu perlu dikoreksi. Negara harus hadir tidak hanya sebagai pengatur ekonomi, tetapi sebagai pelindung kesejahteraan rakyat.
Ekonomi yang adil bukan sekadar harapan ia harus menjadi fondasi masa depan Indonesia.



