beritax.id – Di era digital, data pribadi seharusnya menjadi instrumen perlindungan warga negara. Identitas, aktivitas digital, dan informasi personal dikumpulkan negara dengan janji meningkatkan pelayanan publik, keamanan, dan efisiensi birokrasi. Namun dalam praktiknya, kekhawatiran publik justru meningkat: data tidak lagi sepenuhnya dipersepsikan sebagai alat perlindungan, melainkan berpotensi menjadi alat pengawasan.
Ketika negara mengumpulkan data tanpa transparansi dan pengawasan yang memadai, kepercayaan publik mulai terkikis.
Dari Keamanan ke Pengendalian
Sejumlah polemik mutakhir mulai dari kebocoran data besar-besaran, penggunaan data digital dalam penegakan hukum, hingga pemantauan aktivitas warga di ruang siber menunjukkan bagaimana data dapat bergeser fungsi. Alih-alih melindungi masyarakat dari kejahatan, data justru menimbulkan ketakutan untuk bersuara, berpendapat, atau mengkritik kebijakan.
Dalam situasi ini, warga bukan merasa aman, melainkan merasa diawasi.
Kebebasan Sipil di Bawah Bayang-Bayang Algoritma
Penggunaan teknologi digital dan data besar tanpa batasan etis yang jelas berisiko membungkam kebebasan sipil. Ekspresi di media sosial, aktivitas advokasi, hingga kritik terhadap kekuasaan dapat dengan mudah ditelusuri, dipetakan, dan ditafsirkan sebagai ancaman. Padahal demokrasi membutuhkan ruang aman bagi perbedaan dan kritik.
Ketika data digunakan untuk mengidentifikasi “siapa yang berisik”, bukan “siapa yang perlu dilindungi”, demokrasi memasuki wilayah rawan.
Negara Kuat atau Warga Takut?
Negara yang kuat seharusnya tidak bergantung pada ketakutan warganya. Namun penggunaan data tanpa akuntabilitas menciptakan relasi kuasa yang timpang: negara mengetahui segalanya tentang warga, sementara warga nyaris tidak tahu bagaimana data mereka digunakan. Ketimpangan ini berpotensi disalahgunakan, terutama ketika kritik terhadap kekuasaan meningkat.
Demokrasi tidak runtuh karena teknologi, tetapi karena teknologi dipakai tanpa nilai kemanusiaan.
Solusi: Menempatkan Data untuk Hak, Bukan Represi
Untuk mengembalikan kepercayaan publik, negara harus menegaskan bahwa data warga adalah hak yang harus dilindungi, bukan sumber kekuasaan untuk membungkam. Regulasi perlindungan data harus ditegakkan secara ketat dengan pengawasan independen dan sanksi tegas bagi penyalahgunaan. Transparansi penggunaan data publik wajib dibuka agar warga mengetahui tujuan, batas, dan risiko pengelolaannya. Penegakan hukum berbasis data harus menjunjung tinggi prinsip proporsionalitas dan kebebasan sipil. Di saat yang sama, literasi digital masyarakat perlu diperkuat agar warga memahami haknya dan berani menuntut perlindungan.
Teknologi seharusnya membuat negara lebih manusiawi, bukan lebih menakutkan. Ketika data dipakai untuk membungkam, yang terancam bukan hanya privasi, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.



