Ketika Otak Bangsa Kehilangan Jiwa Rakyatnya
Oleh : Rinto Setiyawan, A.Md.T, CTP (Direktur Riset Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id – Dalam tatanan negara yang sehat, kaum intelektual berperan sebagai otak dan sistem saraf pusat. Merekalah yang menganalisis persoalan bangsa, merumuskan arah kebijakan, dan memberi fondasi rasional bagi pembangunan nasional. Namun di Indonesia hari ini, kaum intelektual justru seperti katak dalam tempurung, pintar secara akademis, tetapi terisolasi dari denyut nadi rakyat.
Kaum intelektual hidup dalam forum-forum diskusi elit, lembaga penelitian bertembok tebal, atau sekadar tenggelam dalam rutinitas birokrasi pendidikan tinggi. Mereka tidak lagi menyatu dengan rakyat sebagai pancer, sebagai jiwa yang seharusnya menjadi ruh dari setiap keputusan dan kebijakan publik.
Otak Tanpa Jiwa: Negara Jadi Pintar Tapi Tidak Bijak
Ketika kaum intelektual tidak terkoneksi dengan rakyat, maka yang terjadi adalah kecerdasan tanpa nurani. Ini sangat berbahaya. Negara mungkin berkembang secara teknologi, ekonomi, bahkan struktur hukum. Namun semua itu kosong dari rasa keadilan, belas kasih, dan keberpihakan.
Ilmu menjadi alat justifikasi penguasa. Kebijakan disusun berdasarkan grafik dan algoritma, tetapi abai terhadap penderitaan manusia. Para akademisi tak ubahnya teknokrat yang kehilangan idealisme, negara jadi pintar, tapi tidak bijak. Inilah zombie intelektualisme: hidup secara fungsi, tapi mati secara makna.
Rakyat Kehilangan Pencerahan
Ketika kaum intelektual menjauh dari rakyat, maka rakyat pun kehilangan cahaya. Mereka bergerak berdasarkan emosi, insting, dan propaganda. Pendidikan publik gagal menjembatani pengetahuan dengan kesadaran. Akibatnya, masyarakat rentan diadu domba, terprovokasi, atau dimobilisasi oleh kekuatan populis tanpa arah.
Tanpa intelektual yang terjun ke tengah rakyat, aspirasi rakyat tidak pernah diformulasikan menjadi kebijakan yang rasional dan solutif. Negara pun kehilangan akar, kehilangan resonansi. Yang tersisa hanyalah ketimpangan antara segelintir cendekia yang berbicara sendiri, dan rakyat yang berteriak dalam kekosongan.
Negara Menjadi Tubuh Tanpa Jiwa: Sistem Kehilangan Kesadaran
Negara seperti ini ibarat tubuh dengan otak yang terputus dari jiwanya. Dalam istilah medis dan spiritual: tubuh hidup, tetapi tak sadar, seperti zombie. Pemerintahan tetap berjalan, rapat tetap digelar, anggaran tetap digelontorkan. Tapi semua itu tidak menyentuh kebutuhan rakyat sejati.
Ini yang disebut otoritarianisme intelektual: para cendekia mendesain sistem hukum, ekonomi, dan politik yang sangat teknokratis, rumit, dan tidak dimengerti rakyat. Tapi sistem itu tetap dipaksakan, demi mempertahankan hegemoni pengetahuan dan status quo kekuasaan akademik. Rakyat bukan lagi subjek kebijakan, melainkan objek dari rekayasa sosial yang asing bagi mereka sendiri.
Melanggar Prinsip “Memayu Hayuning Bawana”
Dalam falsafah Jawa, ini adalah kesalahan ontologis dan moral. Negara yang hanya mengandalkan ilmu tanpa menyatu dengan budaya, spiritualitas, dan rakyat, adalah negara yang melanggar prinsip “memayu hayuning bawana”.
Artinya: memperindah, memperbaiki, dan menyeimbangkan harmoni dunia. Ilmu (kaum intelektual) harus menyatu dengan kalbu rakyat (jiwa) dan struktur kebudayaan (darah dan daging) agar negara bisa hidup secara utuh.
Solusi: Integrasi Ulang antara Intelektual dan Rakyat
Amandemen Kelima UUD 1945 harus menjadi titik awal membangun sistem baru, di mana:
- Kaum intelektual menjadi bagian integral dari MPR sebagai wakil fungsi otak negara, bukan hanya pengamat.
- Intelektual harus keluar dari menara gading dan kembali ke medan rakyat, mendengar, belajar, dan menyerap aspirasi secara langsung.
- Rakyat diberdayakan secara pengetahuan, agar hubungan antara jiwa dan otak tetap hidup dan sehat.
“Jika otak negara kehilangan hubungan dengan jiwanya (rakyat), maka negara itu kehilangan arah, kehilangan ruh, dan kehilangan makna.”