Darah dan Daging Bangsa yang Kering Tanpa Jiwa
Oleh : Rinto Setiyawan, A.Md.T, CTP (Direktur Riset Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id – Dalam falsafah kenegaraan yang luhur, budaya dan adat istiadat adalah darah dan daging bangsa. Mereka tidak hanya menjadi penanda identitas, tetapi juga menyuplai kehidupan, kekuatan, dan keharmonisan antar elemen bangsa. Ibarat tubuh manusia, tanpa darah dan daging, jiwa tidak bisa berdiam, dan tubuh tidak bisa bergerak.
Namun dalam sistem negara Indonesia hari ini, kaum budaya dan adat istiadat justru dipinggirkan, dijadikan simbol eksotik, atau lebih parah, sekadar stempel sahnya kekuasaan pejabat. Mereka dijadikan pelengkap upacara, bukan penjaga roh kebangsaan. Akibatnya, kedaulatan rakyat tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Jiwa Tanpa Tubuh: Bangsa Tanpa Wajah
Kondisi ini menimbulkan kekosongan identitas nasional. Rakyat kehilangan wajah sebagai satu komunitas yang menyatu dalam nilai dan sejarah. Bahasa daerah, seni tradisi, ritual adat, pakaian lokal, hingga nilai-nilai etika warisan nenek moyang mulai ditinggalkan, bukan karena kalah, tapi karena dimiskinkan peran strategisnya.
Budaya Indonesia justru dikomodifikasi: dijual sebagai objek wisata, atau dijadikan ornamen seremonial kekuasaan. Namun jauh dari kehidupan rakyat sehari-hari. Di sinilah ironi terjadi: bangsa yang kaya budaya justru kehilangan akar budayanya sendiri.
Tanpa darah dan daging, tubuh bangsa akan membusuk pelan-pelan. Dan tanpa itu semua, jiwa rakyat pun kehilangan tempat untuk berpijak.
Budaya Jadi Museum, Bukan Kehidupan
Kaum budaya dan adat istiadat kini terjebak menjadi kurator sejarah, bukan pelaku transformasi nilai. Tradisi hanya dipentaskan dalam festival, bukan dirayakan dalam kehidupan. Upacara adat hanya disorot saat perayaan kenegaraan, bukan dibina sebagai nilai hidup.
Kaum budaya tidak lagi berada di tengah rakyat, melainkan terkurung dalam birokrasi kebudayaan. Banyak tokoh adat yang justru menjadi alat legitimasi kekuasaan: mengangkat gelar kepada penguasa, memberi doa restu kepada pejabat, tetapi lupa bahwa nilai sejati adat adalah berpihak kepada keseimbangan dan keluhuran hidup rakyat.
Pemisahan Tubuh dan Jiwa: Alienasi Sosial
Ketika budaya terpisah dari rakyat, terjadilah alienasi identitas. Masyarakat tidak lagi memiliki pijakan nilai yang jelas. Di satu sisi, mereka dibombardir modernitas tanpa akar. Di sisi lain, mereka merasa canggung dengan adat yang dianggap kaku dan “ketinggalan zaman.”
Hasilnya adalah generasi yang tercerabut, tanpa arah, tanpa akar. Konflik identitas pun tumbuh: antara gaya hidup global yang nihilis dan warisan lokal yang tidak lagi dipahami.
Falsafah Jawa mengingatkan kita bahwa “nguri-uri kabudayan” bukan berarti mengawetkan masa lalu dalam formalitas mati, tapi menghidupkan nilai-nilai lokal agar menyatu dengan denyut jiwa rakyat hari ini. Budaya bukan benda mati, melainkan energi kehidupan sosial.
Budaya yang Dipinggirkan = Negara yang Lumpuh Rasa
Ketika sistem negara tidak menempatkan kaum budaya sebagai darah dan daging bangsa, maka nilai keadaban pun hilang. Negara bisa jadi kuat dalam infrastruktur, tapi keropos dalam makna. Hukum ditegakkan tanpa empati. Kebijakan dibuat tanpa memahami konteks sosial. Keadilan menjadi prosedur, bukan rasa.
Budaya adalah yang mengalirkan “rasa” ke dalam sistem negara. Tanpa itu, negara hanya menjadi mesin: efisien, tapi tidak manusiawi.
Solusi: Budaya Harus Kembali Menyatu dengan Jiwa Rakyat
Amandemen Kelima UUD 1945 harus mengembalikan kaum budaya dan adat istiadat ke posisi sejatinya, sebagai:
- Penjaga rasa kebangsaan dan penuntun arah etika negara;
- Mitra strategis rakyat dan lembaga negara dalam menyusun harmoni kebijakan;
- Pusat nilai yang harus hidup, bukan hanya dilestarikan;
- Pilar representatif dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai unsur budaya bangsa yang hidup.
“Jika budaya hanya jadi pajangan, maka negara hanya jadi panggung. Kita butuh budaya yang berdarah, yang menyatu dengan penderitaan, harapan, dan perjuangan rakyat.”