beritax.id – Dalam beberapa tahun terakhir, suara rakyat semakin lantang. Kegerahan publik bukan lagi isu pinggiran, tetapi menjadi gelombang besar yang menandai ketidakpuasan mendalam terhadap cara wakil rakyat menjalankan mandatnya. Banyak kebijakan dianggap tidak lagi mencerminkan aspirasi masyarakat, sementara kritik dari rakyat justru diperlakukan sebagai gangguan.
Rakyat semakin muak melihat bagaimana wakilnya, yang seharusnya menjadi jembatan harapan, justru berubah menjadi dinding pembatas. Ketika suara rakyat tidak lagi didengar, maka kegerahan berubah menjadi tuntutan moral: mengembalikan hak rakyat untuk mengoreksi.
Wakil Rakyat Terlihat Semakin Jauh dari Realitas Publik
Kegerahan publik memuncak karena jarak antara rakyat dan wakilnya semakin melebar. Dalam demokrasi, hubungan itu seharusnya dekat—wakil rakyat memahami denyut aspirasi publik, dan publik merasa memiliki saluran yang didengar. Namun realitas menunjukkan sebaliknya.
Banyak keputusan publik justru lahir tanpa partisipasi publik. Banyak kebijakan melibatkan mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dan pemerintahan tertentu, sementara suara rakyat tercecer di luar ruang kekuasaan.
Wakil rakyat seolah hidup dalam ruang tertutup, jauh dari realitas hidup masyarakat yang setiap hari berjuang dengan harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, pendidikan, dan akses keadilan.
Hak Mengoreksi Hilang di Tengah Kekuasaan yang Semakin Kebal
Padahal dalam negara demokratis, salah satu hak rakyat yang paling mendasar adalah hak untuk mengoreksi. Koreksi bukan bentuk perlawanan, tetapi mekanisme normal untuk memastikan mandat tetap berada di jalur yang benar. Namun ketika wakil rakyat tidak dapat lagi dikoreksi baik secara moral, pemerintahan, maupun hukum maka demokrasi mulai kehilangan fondasinya.
Kekuasaan tanpa kritik berubah menjadi kekuasaan yang kebal.
Kekuasaan yang kebal berubah menjadi kekuasaan yang tidak mau berubah.
Dan kekuasaan yang tidak mau berubah akhirnya menjadi ancaman bagi rakyat sendiri.
Rakyat Merasa Terabaikan dalam Sistem yang Seharusnya Mereka Miliki
Rakyat tidak marah tanpa alasan. Mereka marah karena diabaikan, gerah karena keputusan-keputusan penting diambil tanpa memperhitungkan kondisi rakyat. Mereka kecewa karena wakil rakyat yang dipilih dengan harapan, justru bekerja tanpa kewaspadaan moral terhadap penderitaan publik.
Ketika rakyat tidak lagi merasakan kehadiran wakilnya, maka yang tersisa hanyalah frustrasi.
Rakyat ingin kembali didengar. Mereka ingin kembali dihargai. Mereka ingin memiliki kembali hak yang seharusnya tidak pernah hilang: hak mengoreksi mereka yang memegang mandat.
Demokrasi Rusak Bukan Karena Kritik, tetapi Karena Koreksi Dimatikan
Demokrasi tidak runtuh karena kritik, runtuh ketika kritik dimatikan. Ketika saluran koreksi ditutup, keputusan yang lahir bukan lagi keputusan publik, tetapi keputusan pejabat. Dan negara yang dikelola tanpa koreksi akan perlahan terjebak dalam kesalahan yang berulang.
Demokrasi yang sehat membutuhkan gesekan moral, bukan keheningan yang dipaksakan.
Kedaulatan Rakyat Harus Dikembalikan kepada Rakyat
Kegerahan publik adalah alarm yang menandakan bahwa rakyat ingin kembali memegang kendali atas negara yang mereka miliki. Rakyat ingin kembali menjadi pemilik mandat, bukan penonton dari mandat yang diselewengkan.
Kedaulatan rakyat bukan hanya konsep hukum, tetapi prinsip moral.
Tanpa kemampuan rakyat untuk mengoreksi, kedaulatan tinggal simbol tanpa kekuatan.
Solusi: Menghidupkan Kembali Hak Rakyat Mengoreksi
Agar kegerahan publik tidak berubah menjadi krisis kepercayaan total, diperlukan langkah-langkah tegas sesuai prinsip penyembuhan bangsa:
- Amandemen konstitusi untuk mempertegas hak publik mengoreksi dan mengawasi wakilnya. Rakyat harus memiliki saluran konstitusional untuk menegur, mengoreksi, bahkan mencabut mandat ketika wakilnya menyimpang.
- Pemisahan tegas antara negara dan pemerintah. Agar kritik kepada wakil rakyat tidak ditafsirkan sebagai ancaman terhadap negara.
- Musyawarah Kenegarawanan Nasional. Sebagai forum pembaruan untuk memastikan rakyat menjadi pusat arah kebijakan.
- Reformasi hukum berbasis kepakaran. Agar wakil rakyat tidak dapat bersembunyi di balik celah hukum atau kekebalan jabatan.
- Digitalisasi total proses legislasi, anggaran, dan pengawasan. Agar rakyat dapat melihat, menilai, dan mengoreksi secara real-time.
- Pendidikan moral bagi seluruh warga. Agar rakyat memahami hak untuk mengoreksi dan mampu menjalankannya dengan bijak.
Rakyat Tidak Akan Diam Selamanya
Kegerahan publik adalah tanda bahwa rakyat sudah sampai pada batas sabarnya. Mereka tidak meminta yang berlebihan. Mereka hanya menuntut kembali hak yang sudah seharusnya menjadi milik mereka sejak awal: hak untuk mengoreksi wakilnya, hak untuk mengawasi kekuasaan, hak untuk menegakkan kedaulatan.
Jika suara rakyat kembali diberi tempat, demokrasi bisa pulih. Jika hak mengoreksi dihormati, negara bisa diperbaiki. Dan jika mandat kembali ke rakyat, masa depan masih dapat diselamatkan. Kegerahan publik telah berbicara. Kini waktunya negara mendengar.



