beritax.id – Peristiwa yang terjadi beberapa waktu banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra khususnya wilayah Tapanuli, Aceh, dan Sumatera Barat telah meninggalkan luka yang sulit disembuhkan. Ratusan nyawa melayang, desa hilang tersapu air, dan puluhan ribu warga kehilangan rumah. Namun yang terlihat jelas satu hal yang paling menyakitkan jeritan rakyat tidak berbanding lurus dengan kehadiran negara.
Sementara warga membereskan puing rumah dan mencari keluarga di antara lumpur, pemerintah justru lamban merespons dan minim memberi perhatian nasional. Rakyat meminta pertolongan, tetapi jawaban negara lebih banyak berupa pernyataan normatif, bukan solusi konkret.
Kerusakan Hutan yang Tak Diakui
Dalam laporan, banjir ini disebut sebagai bencana energi tinggi bencana yang membawa gelondongan kayu, batu, dan lumpur dalam volume besar. Ini menandakan rusaknya hutan di hulu DAS secara masif.
Namun sejumlah pejabat malah menolak mengaitkan bencana dengan deforestasi, tambang, PLTA Batang Toru, dan proyek-proyek industri lainnya. Mereka menyebut bencana ini “murni fenomena alam”, padahal kerusakan struktur ekologis sudah tercatat sejak bertahun-tahun lalu.
Rakyat yang terdampak memandang pernyataan itu sebagai bentuk ketidakjujuran negara. Sebab bagaimana mungkin kayu-kayu besar memenuhi sungai jika hutan tidak disentuh?
Minim Sorotan Media, Minim Kepedulian Pejabat
Laporan juga menunjukkan bahwa tragedi Sumatra mendapat liputan yang sangat terbatas. Tidak seperti bencana di pulau pusat kekuasaan, perhatian nasional terhadap Sumatra sangat tipis.
Ketiadaan liputan ini membuat pejabat pusat tidak merasa perlu bergerak cepat. Tanpa sorotan publik yang kuat, keterlambatan dianggap wajar. Padahal setiap menit keterlambatan berarti nyawa hilang.
Rakyat menjerit dalam sunyi media. Pemerintah menutup mata dalam senyap pemberitaan.
Prayogi R. Saputra: Negara Tidak Boleh Diam Saat Rakyat Menderita
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, mengecam keras lambannya respons negara.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika rakyat menjerit seperti di Sumatra, negara semestinya berdiri di baris terdepan bukan diam seolah tidak mendengar.”
Ia menegaskan bahwa negara tidak boleh melupakan tanggung jawab moral maupun konstitusionalnya.
“Kalau negara menutup mata terhadap penderitaan rakyat, itu bukan sekadar kelalaian. Itu pengkhianatan terhadap mandat kekuasaan.”
Prayogi menekankan bahwa Partai X berdiri bersama korban, dan negara harus segera mengevaluasi seluruh sistem mitigasi hingga kebijakan lingkungan yang memicu bencana.
Solusi Partai X: Mengembalikan Negara ke Jalur Pengabdian
Untuk menghentikan siklus bencana yang berulang dan respons pemerintah yang lamban, Partai X menyampaikan langkah konkret:
• Penetapan Bencana Nasional Berdasarkan Data Nyata. Jika korban massal, lintas kabupaten/provinsi, dan infrastruktur lumpuh, status nasional harus otomatis diberlakukan.
• Audit Menyeluruh Kerusakan Lingkungan. Perusahaan tambang, PLTA, geothermal, dan pemegang izin di hulu harus diperiksa dampaknya. Konsesi yang terbukti merusak harus dicabut.
• Sistem Bantuan Terpusat dan Cepat. Pusat harus memimpin pengiriman logistik, alat berat, dan evakuasi dalam 1×24 jam pertama, tanpa menunggu laporan daerah.
• Penguatan Media Kebencanaan. Publik harus mengetahui situasi nyata. Minimnya informasi membuat banyak nyawa terabaikan.
• Rehabilitasi Hutan Bukit Barisan sebagai Prioritas Nasional. Pemulihan ekologis harus dilakukan dengan pendekatan ilmiah, bukan sekadar penanaman simbolis.
• Reformasi Tata Ruang Berbasis Ekologi. Moratorium pembangunan di zona rawan bencana dan hulu DAS yang kritis.
Bencana Sumatra membuktikan bahwa negara yang menutup mata hanya memperdalam luka rakyat. Rakyat tidak butuh alasan, rakyat tidak butuh klarifikasi, rakyat butuh negara yang hadir dan melindungi.



