beritax.id – Proyek sistem inti administrasi perpajakan (Coretax) kembali menjadi sorotan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan mengancam akan menghadirkan tenaga ahli teknologi informasi dari luar jika tim internal tak mampu memperbaiki masalah dalam satu bulan. Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengakui sistem sempat mengalami downtime dan kini masih dalam tahap stabilisasi.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa akar persoalan Coretax masih dianggap sebatas problem teknis. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sumber masalah justru terletak pada urutan pembangunan sistem yang keliru sejak awal.
Tahapan Ideal: Proses Bisnis → Regulasi → Teknologi
Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menegaskan bahwa dalam proyek transformasi digital, khususnya di sektor publik seperti Coretax ini, ada tiga tahap yang semestinya dijalankan secara berurutan:
- Proses Bisnis
Seluruh alur dan kebutuhan kerja harus dipetakan dengan detail: bagaimana mekanisme perpajakan berlangsung, data apa yang dibutuhkan, serta bagaimana interaksi antara wajib pajak, petugas, dan sistem. - Regulasi
Setelah proses bisnis jelas, barulah aturan hukum disusun agar mendukung implementasi teknis. Regulasi menjadi kerangka yang memastikan praktik di lapangan selaras dengan tujuan kebijakan. - Teknologi
Teknologi hadir paling akhir, sebagai alat untuk menjalankan proses bisnis yang sudah matang, sekaligus sesuai dengan kerangka regulasi yang berlaku.
Coretax: Urutan yang Terbalik
Rinto mengingatkan bahwa dalam kasus Coretax, justru yang terjadi adalah kebalikannya:
- Regulasi hadir lebih dulu melalui Perpres No. 40 Tahun 2018, padahal proses bisnis belum sepenuhnya didefinisikan secara rinci.
- Teknologi dibeli kemudian, menggunakan sistem Commercial Off-The-Shelf (COTS) dari luar negeri, yang membawa serta proses bisnis bawaan dari software tersebut.
- Proses bisnis dipaksa menyesuaikan dengan teknologi yang sudah terlanjur dipilih, bukan sebaliknya.
Akibatnya, sistem sering mengalami masalah teknis karena teknologi tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan lokal Indonesia. Downtime, pemeliharaan berulang, dan stabilisasi tanpa ujung menjadi konsekuensi yang kita saksikan hari ini.
“Logika Kemenkeu/DJP kebalik. Maka, urutannya pun terbalik, wajar kalau hasilnya nyungsep masuk jurang,” ujar Rinto
Risiko dari Urutan yang Salah
Ketika proses bisnis tidak matang sejak awal, regulasi hanya akan menjadi teks hukum yang generik, sementara teknologi dipaksa menutup celah-celah yang seharusnya diatur oleh tata kelola. Hasilnya:
- Sistem yang rapuh dan sulit stabil.
- Potensi pembengkakan biaya akibat revisi berulang.
- Kepercayaan publik terhadap administrasi pajak ikut tergerus.
Target perbaikan satu bulan, seperti yang dicanangkan Menteri Keuangan, berisiko hanya menyelesaikan gejala di permukaan tanpa mengobati akar masalah.
Jalan Keluar: Kembali ke Fondasi
Merekrut ahli IT dari luar mungkin memberi solusi jangka pendek, tetapi tidak akan menuntaskan persoalan struktural. Pemerintah perlu berani kembali ke fondasi:
- Audit menyeluruh proses bisnis: memastikan alur perpajakan jelas dan lengkap.
- Sinkronisasi regulasi: aturan turunan harus mendukung praktik proses bisnis nyata.
- Penyesuaian teknologi: bukan sekadar membeli atau memaksa adaptasi sistem asing, tapi merancang solusi yang benar-benar sesuai kebutuhan Indonesia.
Transformasi digital bukan soal siapa yang punya software paling canggih, melainkan siapa yang mampu menyusun pondasi proses bisnis dan regulasi yang solid sebelum teknologi masuk.
Coretax seharusnya menjadi tonggak modernisasi perpajakan, bukan sumber masalah baru. Kegagalan memahami urutan pembangunan sistem membuat proyek ini terseret pada carut-marut teknis yang tidak kunjung selesai.
Jika pemerintah ingin benar-benar memperbaiki keadaan, langkah pertama bukanlah sekadar memanggil ahli IT, melainkan menata ulang urutan prosesnya. Proses bisnis dulu, regulasi kemudian, baru teknologi. Tanpa itu, Coretax hanya akan terus menjadi proyek ambisius yang rapuh di dalam.