beritax.id – Indonesia terus menghadapi krisis beruntun bencana alam, kenaikan harga pangan, kegagalan infrastruktur, krisis kesehatan, dan konflik sosial yang muncul silih berganti. Namun dalam setiap peristiwa, satu pola yang sama berulang: pemerintah selalu terlihat datang terlambat. Terlambat merespons, terlambat mengoordinasi, terlambat mengambil keputusan, dan sering kali terlambat memahami besarnya persoalan yang sedang terjadi.
Padahal, dalam situasi krisis, kecepatan adalah separuh dari keselamatan.
Respons yang lambat tidak hanya disebabkan oleh terbatasnya sumber daya. Sering kali akar masalahnya lebih dalam: budaya yang lebih sibuk mengelola citra ketimbang menyelesaikan masalah. Setiap krisis justru menjadi arena untuk saling menyalahkan, bukan momen untuk bekerja cepat dan tegas.
Ketika prioritas lebih tertuju pada pencitraan, rakyat harus menanggung harga dari kelambanan.
Birokrasi yang Gemuk dan Tidak Lincah
Salah satu penghambat terbesar respons cepat adalah birokrasi yang gemuk dan lamban. Keputusan penting harus melewati banyak meja, banyak tahapan, dan banyak kepentingan. Padahal, krisis tidak menunggu administrasi selesai. Rakyat membutuhkan negara hadir saat itu juga bukan setelah rapat, laporan, dan proses panjang yang menguras waktu. Birokrasi yang tidak responsif membuat negara kehilangan detik-detik berharga.
Dalam teori, koordinasi antarlembaga seharusnya berjalan rapi. Namun dalam praktik, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sering bekerja sendiri-sendiri. Informasi tidak sinkron, keputusan tumpang tindih, dan pelaksanaan tidak terarah. Hasilnya: bantuan terlambat, keputusan kabur, dan rakyat dibiarkan bertahan sendiri. Negara tidak boleh menjadi penonton ketika rakyatnya butuh pertolongan.
Minimnya Perencanaan Jangka Panjang
Krisis selalu berulang, tetapi perencanaan jarang berubah. Banjir datang setiap tahun, harga pangan naik setiap musim, dan masalah sosial menguat setiap gelombang ekonomi melemah. Namun pola respons negara tetap sama: reaktif, bukan preventif. Akibatnya, krisis yang seharusnya bisa dikelola berubah menjadi bencana yang memukul banyak orang.
Kesiapsiagaan tidak akan terbangun jika pemerintah hanya bekerja ketika masalah sudah meledak.
Solusi: Respons Cepat Hanya Bisa Terwujud Jika Negara Berani Membangun Sistem yang Efektif
Untuk mengakhiri pola respons yang selalu terlambat, negara harus membangun sistem penanganan krisis yang benar-benar modern, cepat, dan berpihak pada keselamatan publik. Pertama, pemerintah harus memperbaiki birokrasi dengan memangkas jalur keputusan dan memperkuat unit-unit yang memiliki kewenangan darurat agar dapat bertindak cepat tanpa hambatan administratif. Kedua, koordinasi lintas lembaga harus dibangun melalui sistem digital terpadu sehingga informasi bergerak cepat dan keputusan dapat diambil berdasarkan data nyata, bukan asumsi. Ketiga, pemerintah perlu menanamkan budaya kepemimpinan yang berorientasi pada tindakan, bukan pencitraan, sehingga pejabat tidak ragu bergerak cepat di tengah situasi genting. Keempat, perencanaan jangka panjang berbasis risiko harus menjadi landasan kebijakan agar negara tidak selalu berada dalam posisi panik setiap kali krisis datang. Kelima, keterlibatan masyarakat perlu diperkuat melalui edukasi publik dan sistem partisipasi agar rakyat dapat menjadi bagian dari solusi, bukan korban berulang.
Dengan sistem yang siap, kepemimpinan yang tegas, dan tata kelola yang lincah, negara dapat bergerak selangkah lebih cepat dari krisis bukan terus-menerus tertinggal di belakangnya.
Kesimpulan: Krisis Tidak Menunggu Pemerintah Siap
Krisis tidak menunda kedatangannya hingga pemerintah selesai berkoordinasi. Ia datang tiba-tiba, menghantam tanpa kompromi. Jika negara tidak berubah, pola keterlambatan akan terus terulang, dan rakyat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Respons cepat bukan kemewahan ia adalah kewajiban negara kepada rakyatnya.



