beritax.id – Belakangan ini, hak pilih rakyat kembali diperlakukan seolah sebagai sumber persoalan. Atas nama efisiensi, stabilitas, dan kemudahan tata kelola, muncul gagasan yang justru meminggirkan partisipasi langsung warga negara. Dalam logika ini, suara rakyat dianggap ribet, sementara konsentrasi kekuasaan di tangan pejabat dipromosikan sebagai solusi.
Paradigma semacam ini menandai pergeseran serius dalam cara kekuasaan memandang demokrasi.
Hak Pilih Diposisikan sebagai Hambatan
Hak pilih sejatinya adalah fondasi demokrasi dan sumber utama legitimasi kekuasaan. Namun dalam praktik, hak tersebut kerap dibingkai sebagai penyebab biaya tinggi, konflik sosial, dan ketidakpastian pemerintah.
Alih-alih memperbaiki tata kelola demokrasi, sebagian penguasa justru memilih jalan pintas dengan membatasi peran rakyat.
Kekuasaan Pejabat sebagai Jalan Pintas
Ketika hak pilih rakyat dikecilkan, kewenangan pejabat diperluas. Keputusan penting berpindah dari ruang publik ke ruang-ruang tertutup, dari partisipasi warga ke kesepakatan pejabat.
Model kekuasaan seperti ini mungkin terlihat cepat dan rapi, tetapi berisiko besar kehilangan legitimasi sosial dan kepekaan terhadap realitas rakyat.
Perubahan orientasi ini mencerminkan pergeseran dari demokrasi partisipatif ke sekadar manajemen kekuasaan. Rakyat direduksi menjadi objek kebijakan, bukan subjek penentu arah negara.
Dalam jangka panjang, demokrasi yang dipersempit akan melahirkan apatisme, ketidakpercayaan, dan jarak yang makin lebar antara negara dan warga.
Tanggapan Partai X: Negara Tidak Boleh Takut pada Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa cara pandang ini merupakan kekeliruan mendasar dalam bernegara.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Semua itu hanya bisa dijalankan jika rakyat dilibatkan, bukan disingkirkan. Ketika hak pilih rakyat dianggap masalah dan kekuasaan pejabat dianggap solusi, negara sedang salah memahami siapa pemilik kedaulatan,” ujar Prayogi.
Ia menambahkan bahwa penguasa yang kuat bukan yang memusatkan kuasa, melainkan yang berani bertanggung jawab di hadapan rakyat.
Menyempitkan hak pilih bukan hanya soal prosedur pemilu, tetapi soal arah masa depan demokrasi. Kekuasaan yang minim kontrol publik rawan disalahgunakan dan cenderung kehilangan empati sosial.
Jika dibiarkan, kondisi ini dapat merusak fondasi kepercayaan yang selama ini menopang kehidupan bernegara.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengembalikan demokrasi pada jalurnya, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Menegaskan hak pilih rakyat sebagai prinsip dasar yang tidak bisa dinegosiasikan
- Memperbaiki tata kelola demokrasi tanpa mengurangi partisipasi publik
- Memperkuat mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap pejabat
- Mendorong keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan
- Menempatkan pejabat sebagai pelayan rakyat, bukan pemilik kekuasaan
Partai X menegaskan, demokrasi tidak pernah menjadi masalah bagi negara yang jujur dan bertanggung jawab. Yang menjadi masalah adalah kekuasaan yang takut diuji oleh suara rakyatnya sendiri.



