beritax.id – Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan publik terhadap pejabatnya. Gaji tinggi tak menjamin integritas, teknologi yang dimaksudkan untuk kemudahan malah menambah beban rakyat. Fenomena ini menunjukkan mentalitas aparat makin bobrok, lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada melayani masyarakat.
Gaji Miliaran, Tapi Masih Korupsi
Contoh paling mencolok adalah kasus dugaan korupsi dalam distribusi bahan bakar Pertamax oleh Pertamina Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina. Skandal ini merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun selama periode 2018–2023.
Ironisnya, Dirut Pertamina yang notabene digaji Rp3 miliar per bulan tidak mampu mencegah kejahatan tersebut, bahkan terindikasi turut terlibat. Ini menunjukkan bahwa gaji besar tidak menjamin integritas. Ketika pejabat publik tetap memilih korupsi meski sudah mendapatkan imbalan tinggi, berarti persoalan utamanya ada pada mentalitas dan lemahnya pengawasan.
Coretax: Simbol Digitalisasi Gagal
Kasus lain yang menjadi sorotan publik adalah peluncuran sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sistem ini diklaim sebagai transformasi digital perpajakan, namun justru menjadi momok baru bagi wajib pajak. Sudah memasuki bulan ketiga sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax masih dipenuhi bug: login gagal, faktur tidak bisa diunggah, email verifikasi tak dikirim, hingga error yang membuat satu kesalahan membatalkan seluruh transaksi.
Parahnya lagi, DJP justru menyarankan wajib pajak untuk mengisi dokumen XML secara manual. Ini jelas tidak masuk akal. Pemerintah seharusnya menyediakan sistem yang mempermudah, bukan membebani. Ketika digitalisasi malah menyusahkan dan membingungkan, maka yang terjadi bukan transformasi, melainkan kemunduran. Apalagi proyek ini menelan anggaran negara hingga Rp1,3 triliun.
Pengawasan Pejabat Indonesia yang Cuma Seremonial
Secara teoritis, Indonesia memiliki banyak lembaga pengawas seperti KPK, BPK, hingga Ombudsman. Namun, realitasnya tidak seindah di atas kertas. Korupsi masih marak, pejabat yang tertangkap pun sering kali mendapat hukuman ringan atau malah bebas lebih cepat dengan alasan “khilaf”.
Inilah cerminan dari moral hazard dalam sistem pemerintahan kita. Ketika pelaku kejahatan tahu bahwa hukuman bisa dibeli, maka kejahatan akan terus dilakukan. Apalagi jika yang mengatur, yang mengawasi, dan yang menjalankan semuanya berada dalam lingkaran kekuasaan yang sama.
Ketika Rakyat Tidak Lagi Percaya Pada Pejabat Indonesia
Akibat dari semua ini adalah runtuhnya kepercayaan publik. Dulu masyarakat masih percaya bahwa pemerintah bekerja untuk mereka. Kini, banyak yang mulai apatis. Tingkat kepatuhan pajak menurun, kesadaran sosial melemah, dan rakyat semakin individualistis.
Mereka berpikir, “Untuk apa bayar pajak kalau hanya dikorupsi?” Situasi ini sangat berbahaya, karena negara tanpa kepercayaan publik akan menjadi rapuh dan mudah hancur dari dalam. Pemerintah kehilangan legitimasi ketika janji-janji tinggal janji, sementara realitas di lapangan semakin menyakitkan.
Feodalisme Digital: Mentalitas Jadul di Era Modern
Di era digital, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih cepat, mudah, dan transparan. Namun di Indonesia, birokrasi justru semakin berbelit. Pejabat merasa menjadi “bangsawan” yang harus dilayani, bukan pelayan publik.
Proses administrasi sengaja dipersulit agar ada celah untuk uang pelicin. Negara lain sudah memakai AI untuk administrasi dasar, sementara kita masih sibuk mengurus e-KTP yang sering kali gagal. Ini bukan soal teknologi, tapi soal mentalitas yang tertinggal. Birokrasi kita tetap feodal, hanya saja dibungkus teknologi.
Solusi: Kita Butuh Negarawan, Bukan Pejabat
Sudah saatnya Indonesia tidak lagi dikuasai oleh “pejabat karier” yang hanya mencari posisi. Kita butuh negarawan yaitu mereka yang berpikir jauh ke depan, yang menempatkan rakyat sebagai tujuan, bukan alat. Negarawan tahu bahwa kekuasaan adalah alat untuk melayani. Pejabat biasa hanya melihat jabatan sebagai pencapaian. Tanpa perubahan mentalitas ini, birokrasi akan terus jadi alat pemerasan, dan rakyat akan terus jadi korban sistem.
Kepercayaan publik adalah fondasi negara yang sehat. Tanpa itu, pemerintah akan kehilangan arah dan rakyat akan kehilangan harapan. Indonesia tidak bisa terus dikelola seperti bisnis keluarga pejabat, di mana aturan dibuat untuk melindungi yang berkuasa. Kita butuh reset.
Kembali pada prinsip dasar tata kelola yang sehat: efektif, efisien, dan transparan dalam pelayanan untuk rakyat. Jika tidak, maka penyakit “pejabat sakit mental” akan terus merusak bangsa ini dari dalam.